Putusan MK soal Ambang Batas Presiden Dinilai Angin Segar untuk Demokrasi

Gedung Mahkamah Konstitusi/Dok. Ekon
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas presiden untuk mengajukan pasangan calon presiden/calon wakil presiden dinilai sebagai angin segar untuk demokrasi Indonesia. Soalnya, Undang-Undang (UU) tentang Pemilu tahun 2017 selama ini membatasi hak setiap partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan capres-cawapres.
Merujuk UU Pemilu, hanya parpol pemilik kursi 20% di parlemen atau 25% dari suara sah nasional pemilu legislatif yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
“Putusan MK tersebut tentu akan menjadi bagian pertimbangan kami dalam merevisi UU Pemilu dan melakukan constitutional engineering terhadap kehidupan demokrasi konstitusional kita,” kata anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan dalam keterangan resminya, Kamis (2/1).
Wawan – panggilan akrabnya – mengatakan, pihaknya menilai majelis hakim MK bekerja secara profesional dan independen ketika memutus penghapusan ambang batas presiden.
“Pendapat saya, putusan MK tersebut bagi kami sebagai pembentuk UU sama saja dengan berbagai putusan MK sebelumnya, yang harus kami hormati karena sifat putusannya yang bersifat akhir dan mengikat,” tambah Wawan.
Meski demikian, kata Wawan, pihaknya memberi catatan terhadap putusan tersebut kaitannya dengan konsistensi MK dalam melihat ketentuan ambang batas presiden itu presidential thrashold. Setelah 33 kali melewati pengujian, MK pada akhirnya mengubah pendiriannya.
“Belum tentu yang diputuskan MK dalam proses pengajuan UU itu merupakan suatu kebenaran konstitusional. Sejarah dan waktu yang akan mengujinya,” ujar Wawan.
Karena itu, kata Wawan, ada 2 alasan pokok terkait putusan MK tersebut, sehingga pemohon diberikan kedudukan hukum dan permohonannya dikabulkan. Pertama, terbatasnya alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditawarkan.
Kedua, sambung Wawan, secara faktual dalam beberapa Pilpres terdapat nominasi beberapa partai politik dalam pengusulan pasangan calon sehingga membatasi pilihan pemilih. Putusan MK kali ini dinilai menjadi dasar majelis hakim menghapus pasal ambang batas presiden yang termuat di UU Pemilu.
“Nanti perlu kita pelajari lagi secara lengkap putusannya. Putusan MK kan kasus konkret. Jadi bagus sebagai bahan evaluasi dan penyusunan UU Pemilu ke depan,” imbuh Wawan.
Sebelumnya, MK ahkamah memutuskan menghapus ambang batas presiden sebagai persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20% di parlemen atau 25% dari suara sah nasional pemilu legislatif yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Adapun pemohon uji materiil UU Pemilu itu terdiri atas Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden sebagaimana Pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Leave a reply
