Pemerintah dan Industri Dinilai Masih Punya PR soal Hilirisasi Nikel agar Jadi Green Jobs

0
69
Reporter: Rommy Yudhistira

Koaksi Indonesia menilai hilirisasi nikel belum sebagai “pekerjaan hijau” atau green jobs karena pemerintah masih fokus pada aspek ekonomi. Seharusnya pemerintah dan industri nikel ikut memperhatikan aspek lingkungan dan keadilan sosial.

Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif mengatakan, industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip environmental social and governance (ESG) yang menuju ke arah dekarbonisasi. Industri nikel yang bertanggung jawab dinilai akan berimplikasi jangka panjang, baik dari sisi ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.

Studi Koaksi Indonesia, kata Ridwan, menunjukkan narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih, lantaran pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara. Hal itu menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi.

Dari kapasitas 18 GigaWatt (GW) pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang direncanakan pemerintah, kata Ridwan, sebesar 13 GW digunakan untuk mendukung industri nikel. Fakta itu menjadi bukti masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi.

Baca Juga :   Sarana Multigriya Finansial akan Gelontorkan Rp1,285 Miliar untuk Renovasi Rumah di Pandeglang

“Dalam hilirisasi ini masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan green jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” kata Ridwan dalam keterangan resminya, Kamis (23/1).

Sementara itu, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian Taufik Ahmad mengatakan, smelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun, untuk memenuhi proses produksi yang ramah lingkungan dibutuhkan beberapa teknologi untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemarannya.

Sektor energi, kata Ahmad, masih mendominasi geliat hilirisasi nikel. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan non-migas belum menyentuh hilirisasi nikel.

“Di dalam proses produksinya kalau tidak melakukan dekarbonisasi, ya percuma,” kata Taufik.

Selain menunjang transisi energi, Critical Minerals Transition Project Lead World Resources Institute (WRI) Indonesia Reza Rahmaditio mengatakan, untuk menciptakan pekerjaan hijau dalam industri nikel, maka membutuhkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT seperti, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya.

Baca Juga :   Cacar Monyet Meluas, Anggota Komisi IX Sarankan Ini kepada Pemerintah

“Kebutuhan energi yang besar dalam smelter apabila digantikan dengan EBT tentu akan menciptakan green jobs tidak hanya di smelter itu sendiri,” kata Reza.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyebutkan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan nikel di Indonesia seperti pemenuhan ESG dalam produksi baterai, jika ingin memasarkan produk itu di Eropa. Di Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk sektor mineral dan batu bara (minerba).

Karena itu, kata Meidy, dibutuhkan sinergi dengan para pihak untuk mencari solusi. Rencananya, APNI akan menggandeng, Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute, dan pakar-pakar dunia untuk memecahkan masalah itu bersama-sama.

“Jangan membuat daftar yang hanya sesuai untuk Eropa karena beda sekali prosesnya. Kami harus meng-handle 300 tambang yang ada di kepulauan. Tentu, efeknya ada pekerjaan baru, namun perlu ada training yang proper,” ungkap Meidy.

Leave a reply

Iconomics