Apa Pentingnya Perusahaan Reasuransi dan Mengapa IndonesiaRe Membutuhkan Suntikan Modal Rp3 Triliun dari Negara?
Dibandingkan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas. Meski demikian, tidak berarti keberadaan perusahaan reasuransi tidak penting. Reasuransi justru merupakan tulang punggung dari perusahaan asuransi.
“Memang kami berada di paling belakang. Itu sebabnya industri reasuransi barangkali kurang begitu dikenal oleh masyarakat,” ujar Benny Waworuntu, Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero), perusahaan reasuransi milik negara, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (16/7).
Benny menjelaskan kepada Komisi VI DPR RI peran penting perusahaan reasuransi dalam industri perasuransian yang selama ini kurang begitu dikenal luas. Penjelasan kepada para anggota dewan ini penting, karena dalam Rancangan APBN tahun 2023, perusahaan yang juga dikenal dengan nama IndonesiaRe ini mengajukan usulan Penyerataan Modal Negara (PMN) sebesar Rp3 triliun.
Benny menjelaskan, umumnya ketika tenaga pemasar asuransi, menawarkan produk asuransi, biasanya ada dua pertanyaan dari nasabah. Pertama, nanti klaimnya susah atau gampang? Kemudian pertanyaan kedua, kalau terjadi sesuatu dengan perusahaan asuransinya, apa yang terjadi dengan polis?
Untuk pertanyaan kedua, jelas Benny, jawabannya adalah, pertama, sesuai dengan perundangan yang berlaku, perusahaan perasuransian memiliki kewajiban untuk menempatkan deposito wajib yang akan digunakan untuk membayar kepada pihak ketiga pada saat perusahaan mengalami kesulitan.
Kedua, UU Asuransi No.40 tahun 2014, sudah mengamanatkan dibentuknya lembaga penjamin polis yang sampai saat ini memang belum bisa direalisasikan.
Ketiga, ini terkait dengan peran penting perusahaan reasuransi tadi. Ternyata, dibelakang perusahaan asuransi ada perusahaan reasuransi. Perusahaan reasuransi, jelas Benny, tugasnya adalah mempertanggungkan ulang pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada nasabahnya.
“Artinya, perusahaan reasuransi merupakan tulang punggung atau backbone dari perusahaan asuransi. Sedangkan perusahaan asuransi sendiri menjamin baik secara langsung kepada nasabah maupun lewat industri jasa keuangan yang lain,” ujarnya.
Tugas perusahaan reasuransi adalah mengelola risiko, melalui tiga hal. Pertama, menahan sendiri risikonya. Artinya, perusahaan reasuransi itu harus memiliki permodalan yang kuat untuk bisa menyediakan apa yang disebut kapasitas untuk bisa membayarkan klaim pada saat dibutuhkan.
Kedua, membagi risiko tersebut dengan perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang lain. Ketiga, memindahkan risiko ke perusahaan reasuransi yang lain.
“Jadi, sifat industri ini (reasuransi) adalah capital intensive, membutuhkan permodalan yang kuat,” ujar Benny.
Menurutnya, bila suatu perusahaan reasuransi tidak memiliki permodalan yang kuat, maka mau tidak mau, dia harus memindahkan risiko itu ke perusahaan reasuransi lain, termasuk juga perusahaan reasuransi di luar negeri. Karena itulah, salah satu sifat dari industri reasuransi, menurut Benny adalah lintas negara atau internasional.
“Itu menjadi asalah satu alasan bagi IndonesiaRe untuk kita bisa mengajukan PMN ini,” ujarnya.
IndonesiaRe, jelasnya ingin menjadi pemain industri reasuransi kelas internasional. Ada tiga alasan. Pertama, karena memang sifat bisnis reasuransi ini adalah lintas negara atau internasional. Kedua, capital intensive. Ketiga, terkait konsentrasi risiko. Benny mengatakan risiko itu harus dibagi dengan perusahaan reasuransi lain. Hal ini juga yang dilakukan oleh perusahaan reasuransi di belahan dunia lainnya. “Tidak ada yang menahan sendiri (risko). Semua itu harus dibagi. Karena, enggak mungkin kuat kita menahan sendiri,” ujarnya.
Apalagi, tambahnya, Indonesia secara geografis berada dijalur yang disebut ring of fire sehingga memiliki potensi risko becana alam yang tinggi. “Risiko ini harus kita bagi. Berbagi dengan perusahaan reasuransi internasional,” ujarnya.
Benny mengakui dari kapasitas permodalan, IndonesiaRe membutuhkan penguatan, selain penguatan dari sisi sumber daya manusia tentunya. Ia juga mengakui bahwa secara umum, kapasitas permodalan industri reasuransi di Indonesia memang masih kurang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya defisit neraca transaksi berjalan pada sektor perasuransian di lini usaha reasuransi.
“Defisit ini terjadi karena capital outflow atau pembayaran premi reasuransi keluar itu jauh melebihi premi asuransi yang kita tarik dari luar,” ujarnya.
Sampai tahun 2020, Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan dari sektor reasuransi sekitar Rp14 triliun. Benny mengatakan diperkirakan defisit ini akan semakin dalam. Pada tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp15 triliun.
“Kalau kami diizinkan untuk bisa mendapatkan PMN, kita berharap defisit itu akan berkurang,” ujarnya.
Menurutnya, bila tahun 2023 IndonesiaRe bisa mendapatkan PMN sebesar Rp3 triliun, maka tahun 2024 gap antara premi yang dibayar ke luar negeri dengan premi yang dibawa masuk ke dalam negeri semakin mengecil. Dus, dengan PMN Rp3 triliun ini, IndonesiaRe memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan ini bisa ditekan menjadi Rp12 triliun.
Benny mengatakan tambahan modal Rp3 triliun dibutuhkan oleh IndonesiaRe agar bisa meraih rating sebagai pemain reasuransi internasional. Untuk mendapatkan rating A-, IndonesiaRe membutuhkan kapasitas permodalan sebesar Rp6,5 triliun. Saat ini, kapasitas permodalan IndonesiaRe hanya Rp2,7 triliun. “Jadi, kalau kita tambah Rp2,7 triliun dengan Rp3 triliun (nilai PMN), sebetulnya masih kurang. Namun, kami akan usaha,” ujarnya.
Usaha yang dilakukan, tambah Benny, adalah melakukan perbaikan bisnis secara internal untuk menambah kapasitas permodalan selain dari PMN. “Namun, memang untuk mencapai secara organik, dari kami sendiri mencapai Rp6,5 triliun, rasanya agak berat. Maka, kami tetap butuh PMN,” ujarnya.
IndonesiaRe, tambah Benny juga akan menggandeng investor strategis. “Kita akan bawah masuk para pemain reasuransi dari global. Mereka akan membawah masuk modal ke Indonesia dan kompentesi serta pengalaman terbaik dari luar untuk bisa diimplementasikan di Indonesia,” ujarnya.