Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 5,75%

0
230

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Agustus 2023 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%.

Bank Indonesia juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility pada level 5,00% dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023 dan 2,5±1% pada 2024

“Fokus kebijakan moneter diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah untuk memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global,” ujar Perry dalam konferensi pers, Kamis (24/8).

Sementara itu, tambah Perry, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik, kebijakan makroprudensial longgar terus diarahkan untuk memperkuat efektivitas pemberian insentif likuiditas kepada perbankan guna mendorong kredit/pembiayaan dengan fokus hilirisasi, perumahan, pariwisata dan pembiayaan inklusif dan hijau.

Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga terus didorong untuk perluasan inklusi ekonomi dan keuangan digital.

“Penguatan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran Bank Indonesia tersebut terus diarahkan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Perry.

Suku bunga acuan Bank Indonesia tidak mengalami perubahan sejak Januari 2023 lalu. Di sisi lain, Federal Reserve masih terus menaikkan suku bunga acuannya. Pada Juli lalu, bank sentral Amerika Serikat ini menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%-5,5%. Dengan demikian, tingkat suku bunga acuan di Amerika Serikat ini semakin mendekati tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia.

Baca Juga :   Bank Indonesia Diperkirakan Belum Pangkas BI Rate dalam RDG Agustus

The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya hingga mencapai level 5,75% pada September nanti.

Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan bila The Fed kembali merevisi target kenaikan suku bunganya lagi pada September, maka akan berpengaruh kepada kebijakan suku bunga Bank Indonesia.

“Walaupun sampai sejauh ini belum ada yang memproyeksikan seperti itu. Belum banyak. Tetapi kalau misalnya dari 5,75% dinaikkan lagi, sebesar 50 basis ke 6,25%, tentu saja ini akan mengubah banyak proyeksi terutama nilai tukar, kemudian arah dari benchmark rate-nya sendiri. Jadi, kalau seperti itu tentu saja ada tendesi untuk menyamakan rate-nya. Bisa saja BI Rate-nya kemudian disesuaikan kembali,” ujar Andry.

Menurut Andry mayoritas pelaku pasar saat ini memang memiliki ekspektasi suku bung acuan The Fed bertahan di level 5,5% hingga Maret 2024. Kalau pun masih naik, kenaikannya hanya sampai 5,75%. Selanjutnya pada Federal Open Market Committee (FOMC) Mei 2024 akan mulai turun.

“Kita lihat masih kecil perkembangan atau probabilitas ke arah 6%. Kalau kita lihat di-closing-nya di tahun 2024 market itu ekspektasinya sampai sekarang yaitu di 4,5%,” ujar Andry.

Baca Juga :   Diimplementasikan Awal Maret 2023, 19 Bank Sudah Siap Jadi Agen Penampung Devisa Hasil Ekspor

The Fed sendiri, tambah dia, memang memiliki target kenaikan hingga 5,75%. Kemudian pada tahun 2024 turun ke level 4,75% dan tahun 2025 ke level 3,5%. Bila skenario ini yang benar-benar terjadi, maka akan menarik aliran modal ke pasar keuangan negara berkembang (emerging market).

“Walaupun mungkin baru diturunkan di pertengahan tahun 2024, tetapi sinyal itu akan mengerek confidence level dari investor untuk masuk ke emerging market,”ujarnya.

Bila suku bunga acuan The Fed akan naik hingga level 5,75% pada September nanti, maka akan sama dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate. Namun, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan kondisi tersebut tidak serta merta akan membuat dana asing keluar dari pasar obligasi Indonesia.

Menurut Handy perbedaan imbal hasil (yield) obligasi bukan faktor utama yang menjadi pertimbangan investor. “Kalau kita bicara yield diferensial itu faktor kedua, yang paling signifikan itu sebenarnya ekspektasi currency risk,” ujar Handy.

Handy mencontohkan pada Juni dan Juli lalu, spread yield obligasi 10 tahun pemerintah Indonesia dengan Amerika Seriakt hanya 220-240 basis poin. “Tetapi faktanya asingnya masih masuk,” ujarnya.

Baca Juga :   Cadangan Devisa April 2022 Menurun Dibandingkan Maret 2022

Selain faktor nilai tukar mata uang, Handy mengatakan fundamental ekonomi Indonesia juga makin tangguh atau resilien sehingga menarik investor untuk tetap masuk.

“Fundamental ekonomi kita sekarang jauh lebih resilien dibandingkan dengan periode sebelum Covid,” ujarnya.

Terkait spread suku bunga acuan, Handy mengatakan saat ini suku bunga acuan bank sentral sejumlah negara bahkan sudah ada yang lebih rendah dari Fed Fund Rate. Thailand misalnya, bank sentral rate-nya di level 5,25%, Malaysia 3% dan China 3,45%.

Menurut dia, bagi Indonesia kuncinya adalah menjaga level Current Account Balance tetap rendah. Demikian juga inflasi harus tetap rendah.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics