Ekonom CELIOS: Skema Co-Payment Bisa Menurunkan Minat Masyarakat pada Asuransi Kesehatan

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Celios
Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan industri asuransi mengatasi tingginya klaim asuransi kesehatan melalui skema pembagian risiko (co-payment) berpotensi menurunkan minat masyarakat pada produk tersebut.
“Saya justru khawatir dengan masih rendahnya angka inklusi dan penetrasi asuransi di Indonesia, skema ini akan menurunkan minat masyarakat untuk mengikuti asuransi,” kata Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda saat dihubungi Theiconomics.com, Senin (9/6).
Klaim asuransi kesehatan mengalami lonjakan setelah pandemi Covid-19. Selain karena inflasi medis, tingginya klaim pada asuransi kesehatan terjadi karena moral hazard dan fraud yang marak pada industri ini.
Merespons kondisi tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan asuransi menaikkan premi yang dibayarkan oleh nasabah.
OJK dan pelaku industri mengklaim dengan adanya skema co-payment, premi yang dibayarkan oleh nasabah akan lebih terjangkau.
Namun, Nailul skeptis. Menurutnya, tarif premi sulit turun signifikan ketika adanya skema co-payment.
Demikian juga moral hazard yang lazim dalam ekosistem asuransi di Indonesia, menurut dia, juga belum tentu akan berkurang dengan adanya skema co-payment ini. Karena praktik tersebut tidak hanya dilakukan oleh nasabah yang aji mumpung, tetapi juga oleh rumah sakit.
Skema co-payment bisa saja membuat nasabah tidak menyalahgunakan asuransi yang dimilikinya, tetapi belum tentu dengan pihak rumah sakit. Apalagi rumah sakit tetap menerima pembayaran sesuai dengan yang ditagihkan.
“Konsumen tentu tidak mengerti tentang kondisi kesehatan dan pasrah dengan saran dokter, akan ada langkah yang lebih mudah dari asuransi dan rumah sakit untuk memaksa pasien rawat inap. Pasien harus membayar sejumlah nilai tertentu padahal seharusnya tidak diperlukan,” ujarnya.
Karena itu, menurut dia, dalam jangka pendek dan menengah, skema co-payment ini berpotensi menyebabkan penurunan inklusi dan penetrasi asuransi kesehatan.
“Dalam jangka panjang, akan sangat tergantung dari kemampuan perusahaan menurunkan tarif preminya. Jika tidak turun signifikan, ya dampaknya sama seperti jangka pendek dan menengah,”ujarnya.
Sebelumnya, pada 19 Mei lalu, OJK menerbitkan SE OJK Nomor 7 tahun 2025 yang mewajibkan perusahaan asuransi untuk menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta.
Dalam beleid itu, porsi pembiayaan kesehatan yang menjadi tanggung jawab Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan, dengan batas maksimum sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim rawat jalan dan Rp3 juta per pengajuan klaim rawat inap.
“Ketentuan tanggung jawab Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas serta akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik,” kata Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi.
Menurut OJK, kata Riyadi, berdasarkan pengalaman di berbagai negara, termasuk Indonesia, mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan awareness pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan oleh fasilitas kesehatan.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon mengatakan mekanisme co-payment ini bukan hal yang baru.
Menurut dia, di banyak negara sudah banyak diterapkan mekanisme co-payment dalam pembayaran klaim asuransi kesehatan.
Bahkan, ia mengklaim, sejumlah produk asuransi, baik kesehatan maupun asuransi umum di Indonesia selama ini juga sudah menerapkan mekanisme co-payment.
“Ada beberapa polis asuransi yang kesepakatan nasabah dengan si penanggungnya, hanya membayar sekian persen. Penanggung atau perusahaan asuransi bayar misalnya 80-90%. Sisanya, dibayar oleh yang bersangkutan. Jadi, ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru,”ujar Budi dalam konferensi pers, Rabu (4/6).
Budi menepis anggapan bahwa mekanisme co-payment ini memberatkan nasabah asuransi kesehatan di Indonesia.
“Seumpama, ada dua program asuransi. Tidak mesti kesehatan. Mobil, kesehatan atau pun yang lain. Terus perusahaan asuransi kasih pilihan. Mau 100% ditanggung atau mau yang kami tanggung 90%? 10%-nya (ditanggung) nasabah. Jawabannya (nasabah) pasti yang 100%. Kalau preminya sama. Pertanyaannya, preminya akan sama enggak? Enggak,” ujarnya.
“Logikanya mengatakan, para aktuaris akan mengeluarkan ketentuan yang berbeda, termasuk pricing yang berbeda antara yang ditanggung penuh 100% dengan yang 90%,” tambahnya.
Selain itu, tambah Budi, meski co-payment yang ditanggung nasabah ini ditetapkan sebesar 10%, tetapi di sisi lain, SE OJK itu juga membatasi nilai yang dibayarkan oleh nasabah maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.
Budi mengklaim, dengan adanya mekanisme co-payment ini, premi asuransi juga akan lebih terjangkau oleh nasabah.
“Memang akan ada co-payment, tetapi preminya akan lebih terjangkau,” ujar Budi.
Leave a reply

