Ekonomi Digital Belum Mampu Genjot Pertumbuhan Nasional

0
100
Reporter: Leo Farhan

Pertumbuhan ekonomi digital dinilai belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Walau pertumbuhan ekonomi digital pada 2019 sektor informasi dan komunikasi mencapai 9,41%, kontribusi ekonomi digital dinilai hanya menjadi “jualan”.

“Seringkali kontribusi ekonomi digital hanya menjadi bahan PR (public relation) dari entitas startup teknologi, atau gimik-gimik yang mendukung perkembangan sekarang,” kata peneliti Indef Hanif Muhammad di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ekonomi Digital Indonesia merujuk kajian Google, Temasek dan Bain pada 2019, merupakan yang terbesar di Asean dengan nilai mencapai US$ 40 miliar dan pertumbuhan tercepat mencapai 49% di periode 2015-2019. Kajian tersebut juga memprediksi kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia mencapai US$ 130 miliar atau lebih dari Rp 1.800 triliun pada 2025.

Kenyataannya, kata Hanif, tidaklah demikian. Kontribusi ekonomi digital terhadap PDB hanya 3,96%. Data-data yang terkait dengan ekonomi digital Indonesia tidak terpusah sehingga tidak ada yang bisa dijadikan rujukan. Terlebih data-data itu umumnya diterbitkan perusahaan teknologi bukan pemerintah.

Hanif menilai, pemerintah perlu mendorong efektivitas proses dan kepemimpinan ekonomi digital secara jelas. Sebab, kepemimpinan ekonomi digital saat ini masih bersifat sangat sporadis, sehingga kebijakan yang dilahirkan masih parsial.

Baca Juga :   Agresif Ekspansi, Transaksi di Aplikasi Kasir Pawoon Bisa Gunakan ShopeePay

“Untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan berdampak besar dibutuhkan data dan statistik ekonomi digital yang akurat serta berkala. Karena penting sekali bagi pemerintah untuk mempererat hubungan dengan para pelaku usaha digital, penyedia platform digital dan asosiasi demi mendapatkan data yang lebih akurat,” kata Hanif.

Kendati demikian, Hanif berpendapat, ekonomi digital merupakan salah satu harapan di masa mendatang karena mampu mendorong perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Itu sebabnya, Hanif mendorong Kementerian Koperasi dan UKM mengutamakan UMKM berbasis produksi untuk ekspor.

Dikatakan Hanif, kontribusi UMKM untuk ekspor saat ini hanya mencapai 14,5%, sedangkan jumlah UMKM di Indonesia dinilai mencapai 99,9% atau sekitar 60 juta unit usaha. Dan 16% dari UMKM itu tidak berbasis produksi. Dari semua ini, fakta menunjukkan sebaliknya. Keberadaan ekonomi digital yang seharusnya mampu mendorong UMKM justru dibanjiri barang impor lewat e-commerce.

Standar UMKM
Secara terpisah, Ketua umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, belum ada produk UMKM yang berorientasi ekspor yang masuk ke e-commerce. Namun, sebelum masuk pasar luar, penting terlebih dulu meningkatkan standar produk UMKM Indonesia.

Baca Juga :   BKPM: Belum ada Investor Masuk ke Lokasi Ibu Kota Baru

“UMKM ini kan didorong untuk menjadi turut hadir di ekonomi digital, di e-commerce, karena e-commerce pada dasarnya hanyalah tempat berjualan, seharusnya UMKM yang lebih menggenjot lagi kualitas barangnya sehingga layak untuk diperjual belikan di pasar luar,” kata Ignatius saat dihubungi wartawan The Iconomics.

Dikatakan Ignatius, e-commerce Indonesia belum siap untuk menjajal pasar internasional. Berdasarkan informasi yang diterimanya hanya baru satu platform lokal yang berani membuka pasarnya di luar negeri yakni Singapura.

“Kemarin ada salah satu platform mengklaim baru membukanya di Singapura. Sedangkan untuk platform lain yang bisa melakukan ekspansi ke luar negeri hanya baru platform asing pula dan cakupannya seluruh Asia Tenggara, contohnya Shopee, Lazada dan lainnya,” kata Ignatius.

Leave a reply

Iconomics