Kasus BTS 4G: Setelah Irwan Jadi JC, Akankah Penyidik Jerat Korporasi dan Menpora Dito?

JPU membacakan tuntutan terhadap terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak, Irwan Hermawan dan Mukti Ali dalam kasus BTS 4G Kominfo/Iconomics
Persidangan terhadap 6 orang terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan segera mencapai titik akhir. Pada hari ini, misalnya, jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan terhadap Galumbang Menak Simanjuntak (mantan Dirut Moratelindo), Irwan Hermawan (Komisaris PT Solitechmedia Synergy) dan Mukti Ali (Account Director of Integrated PT Huawei Investment).
Pada persidangan pekan lalu, JPU juga membacakan tuntutan terhadap Johnny G. Plate (mantan Menkominfo), Anang Achmad Latif (mantan Dirut Bakti Kominfo ) dan Yohan Yunato (Tenaga Ahli Hudev UI). Untuk Johnny, Anang dan Yohan, JPU menuntut masing-masing dengan 15 tahun, 18 tahun dan 6 tahun.
Sementara tuntutan terhadap Galumbang, Irwan dan Mukti Ali masing-masing 15 tahun, 6 tahun dan 6 tahun. Menariknya tuntutan terhadap Galumbang sama dengan Johnny dan tidak berbeda jauh dengan Anang. Dengan kata lain, JPU menilai ketiga orang ini menjadi pelaku utama dalam perkara dugaan korupsi proyek BTS 4G Kominfo.
Pada persidangan kali ini menarik mencermati pertimbangan JPU dalam hal menuntut Irwan. Mengapa? Pasalnya Irwan dinilai berkontribusi dalam membongkar perkara ini dan membuatnya menjadi terang. Dalam persidangan, misalnya, Irwan disebut mengakui kejahatannya dan mengungkap pelaku utama dalam perkara ini.
Begitu pula soal penyaluran uang untuk mengamankan perkara BTS 4G ketika kasus ini masih pra-penyelidikan, penyelidikan hingga penyidikan di Kejaksaan Agung (Kejagung). JPU menyebut Irwan berperan mengungkap aliran uang untuk sejumlah pihak antara lain Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Ario Bimo Nandito Ariotedjo alias Dito Ariotedjo senilai Rp 27 miliar, Naek Parulian Washington alias Edward Hutahaean senilai Rp 15 miliar, Sadikin Rusli Rp 40 miliar dan Nistra Yohan Rp 70 miliar.
Karena kontribusinya itu, menurut JPU, permohonan Irwan sebagai justice collaborator sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan saksi dan Korban tahun 2014 patut untuk diterima. Karena itu, JPU berharap majelis hakim dapat menetapkan permohonan JC Irwan itu dan berhak mendapatkan keringanan hukuman.
Irwan Penting
Menurut Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus, penjelasan JPU atas pertimbangannya menuntut Irwan menjadi penting. Dari penjelasan itu, bisa diartikan bahwa JPU menilai keterangan yang disampaikan Irwan baik dalam persidangan maupun sewaktu penyidikan sesuatu yang bernilai benar.
Karena itu, kata Iskandar, penyidik pada Kejagung seharusnya menjadikan pertimbangan JPU dalam menuntut Irwan itu menjadi dasar untuk menjerat Dito. Termasuk pula menjerat perusahaan konsorsium seperti Huawei Investment dan PT Aplikanusa Lintasarta.
“Dito Ariotedjo dan korporasi yang menjadi konsorsium yang memberikan uang kepada Irwan dan penyalur dana itu, justru tidak diapa-apakan oleh penyidik,” tutur Iskandar saat ditemui di PN Jakarta Pusat, Senin (30/10).
Mengutip kesaksian Irwan pada 23 Oktober lalu, kata Iskandar, salah satu sumber uang untuk mengamankan perkara BTS 4G berasal dari PT Aplikanusa Lintasarta. Seperti yang dijelaskan JPU pada persidangan kali ini, dana tersebut sebenarnya berasal dari Huawei. Dan diketahui Lintasarta tergabung dalam konsorsium Huawei dan SEI yang memenangi paket 3 dengan nilai proyek sekitar Rp 1,6 triliun. Lintasarta total memberikan uang kepada Irwan dan kawan-kawan sekitar Rp 33 miliar.
“Nah, fakta-fakta seperti terkait Lintasarta ini tidak pernah ditindaklanjuti penyidik di Kejagung. Seharusnya dengan memakai logika penyidik, bahwa Edward dan Sadikin yang menerima saja bisa tersangka, mengapa justru perusahaan yang memberi uang tidak jadi tersangka?” tanya Iskandar.
Begitu pula dengan Dito, kata Iskandar. Selain Irwan, ada kesaksian pegawai Moratelindo yang bernama Resi Yuki Bramani yang memastikan bingkisan yang berisi uang telah diserahkan kepada Dito di Jalan Denpasar Nomor 34, Jakarta Selatan.
Berdasarkan kesimpulan JPU itu, kata Iskandar, sesuai dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban, keterangan Irwan bersifat penting mengungkap perkara korupsi BTS 4G. Juga bisa dipastikan, JPU menganggap bahwa Irwan bukan menjadi pelaku utama dalam perkara ini.
“Yang masih mengganjal bagi kami, kasus pokok korupsi atas uang negara yang melibatkan perusahaan kontrak utama sama sekali belum tersentuh. Padahal nama-nama perusahaan itu dan perilakunya termasuk Dito terungkap di persidangan. Mengapa fakta persidangan terkait dakwaaan itu tidak ditindaklanjuti Kejagung? Ini aib buruk dalam upaya penegakan hukum. Itu menyinggung rasa keadilan publik,” tandas Iskandar.
Dalam persidangan pada 11 Oktober lalu, Dito membantah semua tuduhan yang diarahkan kepadanya termasuk soal penerimaan uang Rp 27 miliar itu. Dito memastikan tidak mengenal Irwan dan tidak pernah bertemu dengan Resi yaang mengaku membawa bingkisan ke rumahnya di Jalan Denpasar Nomor 34, Jakarta Selatan.
“Tidak benar semua itu. Saya bantah semua itu. Saya nggak tahu soal uang itu dan sudah pernah saya klarifikasi di Kejagung,” ujar Dito.
Meski demikian, Dito mengakui mengenal dan pernah bertemu dengan Galumbang Simanjuntak sebanyak 2 kali. Dito pertama kali mengenal Galumbang sebagai pengusaha nasional dalam sebuah forum bisnis pada akhir 2021. sementara pertemuan selanjutnya terjadi di Jalan Denpasar Nomor 34.
“Pak Galumbang pernah ke sana (Jalan Denpasar) bersama Resi 2022. Diskusi soal bisnis terkait penawaran saham perdana (IPO). Setelah itu, tidak pernah ketemua lagi,” kata Dito.
Irwan dan Windi
Untuk diketahui, sebelum kesaksian Irwan dan teman dekatnya Windi Purnama di pengadilan, keduanya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai saksi telah mengungkap nama-nama yang diduga menikmati uang mengurus kasus BTS 4G agar tidak berjalan di Kejagung. Irwan, misalnya, mengatakan, pihaknya menerima uang sekitar Rp 243 miliar. Sumber uang itu terdiri atas 7 sumber yang berbeda dalam rentang waktu 2021-2022.
Selanjutnya, berdasarkan arahan Anang Latif (mantan Direktur Utama Bakti Kominfo), Irwan menyalurkan dana itu untuk 11 penerima. Adapun 11 penerima dana dari Irwan adalah staf menteri Rp 10 miliar (April 2021-Oktober 2022); Anang Latif Rp 3 miliar (Desember 2021); Pokja, Feriandi dan Elvano Rp 2,3 miliar (pertengahan 2022); Latifah Hanum Rp 1,7 miliar (Maret dan Agustus 2022); Nistra Rp 70 miliar (Desember 2021 dan pertengahan 2022); Erry (Pertamina) Rp 10 miliar (pertengahan 2022); Windu dan Setyo Rp 75 miliar (Agustus-Oktober 2022); Edward Hutahaean Rp 15 miliar (Agustus 2022); Dito Ariotedjo Rp 27 miliar (November-Desember 2022); Walbertus Wisang Rp 4 miliar (Juni-Oktober 2022); dan Sadikin Rp 40 miliar (pertengahan 2022).
Dalam BAP-nya, Windi mengaku menjadi kurir untuk mengambil dan mengantarkan uang sebagaimana arahan Irwan dan Anang Latif.
“Saya diminta menjadi kurir mengantar dan mengambil uang dari pihak-pihak yang diminta Irwan. Misalnya saya mengambil uang dari Bayu (PT Sarana Global Indonesia), Steven (PT Waradana Yusa Abadi), Winston/Tri (PT Surya Energi Indotama), anak buah Jemmy Sutjiawan (PT Fiberhome Technologies Indonesia) dan lain sebagainya,” kata Windi seperti yang termuat dalam BAP-nya.
Sementara hubungannya dengan Anang Latif, Windi mengaku mendapat arahan untuk menyerahkan uang kepada sejumlah pihak seperti Yunita, Feriandi Mirza, Jenifer, lalu nomor telepon atas nama Sadikin. Uang tersebut diserahkan di Plaza Indonesia, Jakarta.
“Untuk Nistra Komisi I DPR RI saya serahkan di Andara, di Sentul,” ujar Windi lagi.
Masih merujuk kepada BAP Windi disebutkan bahwa dirinya, Anang Latif dan Irwan merupakan teman lama. Khususnya dengan Anang Latif, Windi menyebutkan merupakan teman sejak SMP, SMA hingga kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Leave a reply
