
Kondisi Keuangan Disebut Sedang Sakit, Garuda Juga Hampir Bangkrut di Zaman SBY

Tangkapan layar Youtube Mantan Menteri BUMN Sugiharto/Dok. Iconomics
Tekanan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang terjadi pada saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Maskapai kebanggan nasional tersebut kerap mengalami kejadian demikian; naik-turun dan selalu nyaris bangkrut.
Menurut mantan Menteri BUMN Sugiharto, persoalan Garuda menjadi salah satu topik yang harus diselesaikan dalam 100 hari pertama masa jabatannya. Pasalnya, kinerja keuangan Garuda pada masa itu dinilai berada dalam kondisi sakit.
“Apalagi kita ketahui Garuda di masa sebelum 1998 atau di masa Orde Baru pengadaannya unitnya sarat dengan muatan penggelembungan atau korupsi. Sayangnya masa itu belum ada KPK. Waktu itu Garuda juga nyaris bangkrut karena capex yang begitu agresif,” kata Sugiharto dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (8/6).
Untuk situasi saat ini, menurut Sugiharto, kondisi kesehatan keuangan Garuda anjlok tentu saja karena keadaan memaksa atau di luar dugaan seperti pandemi Covid-19. Karena pandemi itu, di Asia Pasifik terjadi penurunan penumpang yang hampir mencapai 1 miliar orang.
Dibandingkan dengan maskapai Singapura yang kehilangan penumpang sekitar 94%, kata Sugiharto, kondisi Garuda masih jauh lebih bagus karena hanya kehilangan 67% penumpang. Meski kondisi kesehatan keuangan Garuda amat dipengaruhi pandemi, tetapi pemilihan direksi dan komisaris juga tidak sesuai dengan prinsip best practice.
“Ini terjadi dari masa ke masa sehingga potensi intervensi itu selalu ada,” ujar Sugiharto.
Di samping pandemi, kata Sugiharto, ketidakcocokan antara pendapatan dalam bentuk rupiah dan dalam hal biaya seperti pembelian pesawat dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi dolar-rupiah tidak bisa sepenuhnya dipertukarkan karena keterbatasan fasilitas di Indonesia. Walau secara teknikal ada tapi dalam faktanya terlalu sulit dilakukan.
Pada faktanya, kata Sugiharto, rupiah cenderung melemah dibanding dolar AS. Selanjutnya, soal BUMN yang di manapun di seluruh dunia ada yang disebut sebagai principal agency problem. Dengan kata lain, pasti ada intervensi non-korporasi yang mau tidak mau Garuda dari waktu ke waktu menjadi objek dari principal agency problem.
“Semisal, tarif itu ditentukan oleh DPR sehingga kalau pun ada captive market untuk umroh dan haji penentuan tarifnya ditentukan oleh DPR. Sayangnya kadang-kadang tidak berdasarkan prinsip komersial, tapi berdasarkan prinsip populis,” kata Sugiharto.
Sebelumnya, keuangan maskapai Garuda Indonesia sedang dalam kondisi sakit. Utang perusahaan tersebut sudah tembus Rp 70 triliun dan terus bertambah Rp 1 triliun setiap bulannya.
Leave a reply
