Menteri BUMN Ungkap Nilai Kredit Macet UMKM yang akan Dihapustagihkan Capai Rp8,7 Triliun
Pemerintah sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang hapus buku dan hapus tagih kredit macet Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Bank BUMN dan lembaga keuangan non bank BUMN.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengatakan baru-baru ini sudah membahas RPP tersebut yang dipimpin Menteri Koordiantor Perkonomian dan diikuti tujuh menteri.
Dalam rapat itu, ungkap Erick, nilai maksimal hapus buku dan hapus tagih per debitur sebesar Rp100 juta.
“Sehingga nanti kurang lebih yang ada di Himbara itu nilanya Rp8,7 triliun,” ungkap Erick dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (4/11).
Dalam rapat pembahasan RPP itu, kata Erick, terdapat sejumlah usulan terkait dengan jangka waktu lamanya hapus buku dan hapus tagih. Opsi yang berkembang adalah dua tahun, lima tahun dan 10 tahun.
“Kami [Kementerian BUMN] mengusulkan memang kurang lebih kalau bisa dengan track record lima tahun, tidak dua tahun, karena kalau dua tahun terlalu cepat. Tapi nanti keputusannya tentu ada di atas [pimpinan],” ujarnya.
Ia menjelaskan, RPP hapus buku dan hapus tagih ini merupakan bagian dari stimulus ekonomi untuk mendorong daya beli masyarakat dan UMKM yang saat ini sedang terpukul.
Ada potensi moral hazard
Petinggi bank BUMN mengingatkan adanya potensi moral hazard dari kebijakan hapus buku dan hapus tagih ini. Karena itu, perlu ada kriteria yang jelas.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Sunarso mengatakan, kebijakan ini sudah ditunggu-tunggu oleh bank-bank BUMN atau yang disebut juga Himbara.
Ia mengatakan, selama ini Himbara tidak berani melakukan hapus buku dan hapus tagih kredit macet karena masih terdapat berbagai aturan yang mengkategorikannya bisa masuk kerugian negara.
“Intinya, kebijakan hapus tagih terutama untuk UMKM itu memang ditunggu oleh Himbara. Sekarang yang paling penting adalah penetapan tentang kriterianya, seperti apa yang bisa dihapus tagih itu agar tidak menimbulkan moral hazard,” ujar Sunarso di Jakarta, Rabu (30/10).
BRI, kata Sunarso, sudah memperhitungkan dampak kebijakan tersebut bila nanti diterapkan.
“Sepanjang tidak terjadi moral hazard, maka BRI sudah mengkalkulasi kira-kira dampaknya terhadap kinerja keuangan BRI yang nanti akan kita masukan di dalam perencanaan keuangan untuk tahun depan saat kebijakan ini diberlakukan,” kata Sunarso.
Kebijakan hapus buku dan hapus tagih ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan, selama ini lembaganya mengikuti pembahasan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait hapus buku dan hapus tagih kredit macet milik UMKM yang ada di bank BUMN dan LJK non bank BUMN.
“Pada prinsipnya UU P2SK telah mengatur bahwa penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang macet UMKM dapat dilakukan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan UMKM. Hal tersebut dapat dilakukan oleh bank BUMN dan atau LJK non Bank BUMN dengan ketentuan bahwa upaya penagihan telah dilakukan secara optimal, termasuk upaya restrukturisasi, tetapi tetap tidak tertagih,” jelas Dian dalam konferensi pers bulanan OJK, Jumat (1/11).
Dian menambahkan, UU P2SK juga menegaskan, kerugian penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang macet UMKM oleh bank BUMN dan LJK Non Bank BUMN bukan merupakan kerugian negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan itikad baik dan prinsip tata kelola yang baik.
“OJK tentu mendukung pengaturan dimaksud dan menyadari pemberian akses pembiayaan kepada UMKM itu merupakan hal yang vital dalam meningkatkan ketahanan perekonomian,” kata Dian.
Menurut Dian, praktik penghapusbukuan dan penghapustagihan kredit macet sudah biasa dilakukan di bank-bank swasta.