
Pemeriksaan Lutfi soal Korupsi Migor karena Fakta Hukum di Sidang dan Putusan Pengadilan

Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus Kejagung Kuntadi (tengah)/Dokumentasi Penkum Kejagung
Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap pemeriksaan mantan Menteri Perdagangan M. Lutfi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada periode Januari hingga Maret 2022. Lutfi disebut diperiksa sebagai saksi karena kapasitasnya sebagai menteri ketika itu.
“Kapasitasnya (Lutfi) sebagai Menteri Perdagangan, dalam rangka mengatasi kelangkaan minyak goreng, serta upaya untuk mencukupi kebutuhan minyak goren dalam negeri,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi dalam keterangan resminya di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (9/8) kemarin.
Kuntadi menuturkan, pemeriksaan terhadap Lutfi itu untuk mendalami fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan dituangkan dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. “Karena itu, tim penyidik memandang pemeriksaan kali ini sebagai upaya memotret secara utuh peristiwa yang terjadi dalam perkara tersebut,” ujar Kuntadi.
Lebih jauh Kuntadi mengatakan, tim penyidik hingga saat ini telah memeriksa 29 orang saksi untuk kasus korupsi tersebut. “Terakhir, Lutfi telah melalui proses pemeriksaan selama 8 jam dengan 63 pertanyaan yang dijawab dengan baik,” ujar Kuntadi.
Sebelumnya, tim penyidik Jampidsus juga telah memeriksa 2 orang saksi dalam kasus yang sama. Kedua orang itu E selaku Direktur PT Multimas Nabati Asahan dan LK selaku karyawan swasta legal Wilmar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan bahwa, pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara yang dimaksud.
“Adapun kedua orang saksi diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya,” kata Ketut.
Terkait dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan seperti yang dimaksud Kuntadi, justru pendapat majelis di tingkat pertama dan banding berbeda dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Dalam hal kerugian negara, misalnya, majelis hakim menolak dakwaan JPU yang menyebut terdiri atas kerugian keuangan negara Rp 6 triliun dan perekonomian negara Rp 12,3 triliun sehingga totalnya Rp 18,3 triliun.
Bahkan, penghitungan kerugian perekonomian negara itu sempat pula direvisi. Kajian ahli menyimpulkan perekonomian di kasus ini menjadi Rp 10,09 triliun. Meski demikian, majelis hakim berpendapat, penghitungan tersebut sifatnya masih asumsi tidak nyata. Padahal, penghitungan perekonomian negara harusnya bersifat actual loss sehingga penghitungan ahli tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar menentukan kerugian perekonomian negara.
Begitu pula dengan dakwaan JPU terkait dengan kerugian keuangan negara senilai Rp 6,04 triliun itu. Majelis hakim berpendapat, penghitungan kerugian negara hanya bisa dihitung dari hasil keuntungan ilegal yang diperoleh dari kasus ini. Dengan demikian, hakim menilai kerugian negara dalam perkara itu hanya senilai Rp 2,5 triliun.
Tetapi ketok palu majelis hakim pada tingkat Mahkamah Agung (MA) berkata lain. Kelima terdakwa dalam perkara ini dihukum antara 5-8 tahun penjara. Kelima orang itu Indrasari Wisnu Wardhana (mantan pejabat Eselon I Kemendag); Pierre Togar Sitanggang (General Manager di Bagian General Affair Musim Mas); Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia); Stanley Ma (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group); dan Lin Che Wei dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Perkembangan terbaru kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya itu, Kejagung menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Setelah 3 korporasi tersebut, akankah ada tersangka baru lagi dalam kasus ini?