Pemerintah Beberkan Sejumlah Dampak Positif Hilirisasi Mineral
Hilirisasi mineral yang telah bergulir selama beberapa tahun terakhir di Indonesia telah menciptakan sejumlah dampak positif bagi perekonomian mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga berkontribusi pada surplus neraca perdagangan.
“Kalau kita lihat dari penciptaan lapangan kerja ini juga cukup signifikan. Di Weda Bay, Obi, Morowali dan Konawe itu jumlah tenaga kerjanya mencapai puluhan ribu. Gaji mereka pun rata-rata jauh di atas UMR. Jadi, saya kira kontribusi dari sisi ekonomi real ada penciptaan lapangan kerja cukup signifikan,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Investasi & Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, dalam diskusi bertajuk “Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah” yang digelar Forum Merdeka Barat 9, Senin (12/6).
Hilirisasi mineral, tambah Septian juga memberikan dampak postif terhadap peningkatan ekspor yang kemudian mampu menciptakan surplus neraca perdagangan.
“Saya kira ini sesuatu yang cukup menarik sejak dua tahun terakhir, karena peningkatan ekspor yang cukup signifikan dari hilirasasi ini. Ini membantu terciptanya surplus neraca perdagangan dan current account,” bebernya.
Di sisi lain, kata Septian, kebijakan hilirisasi industri tersebut juga memberikan kontribusi yang besar terhadap stabilitas ekonomi makro dan kurs rupiah Indonesia.
“Jadi ini sangat penting untuk stabilitas dari kurs rupiah kita dan indikator makro ekonominya. Kontribusinya dari segi stabilitas makro ini sangat besar,” pungkasnya.
Terkait efek positif untuk industri dalam negeri, kebijakan tersebut dinilai mampu menumbuhkan investasi baru di dalam negeri seperti industri baja (stainless steel), kendatipun para investornya masih banyak dari luar negeri.
“Kalau kita lihat untuk industri besi baja yang dari nikel, sudah banyak tumbuh investasi baru dalam negeri walaupun investornya masih sebagian besar adalah asing,” kata Septian.
“Tapi ini adalah satu langkah baik karena sebelumnya kita masih banyak mengimpor stainless steel ini. Jadi, neraca perdagangan kita untuk stainless steel ini mengalami defisit. Dengan adanya industri stainless steel yang tumbuh ini neraca perdagangannya bisa membaik,” lanjutnya.
Selain industri stainless steel, industri baja karbon (carbon steel) juga mulai bertumbuh di Indonesia dengan adanya program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah.
“Memang yang menjadi PR [pekerjaan rumah] adalah integrasi ke arah hilir yang lebih lanjut. Jadi, kalau stainless steel mungkin lebih ke aplikasinya, misalnya untuk jarum suntik, sendok dan garpu. Ini yang sebenarnya menjadi target kita untuk bisa menarik investasi lebih lanjut,” katanya.
Menurut Septian, saat ini pemerintah sudah melakukan sejumlah skema investasi yang dikembangkan pada arah penguatan kebijakan hilirisasi industri, salah satunya terkait modal yang disediakan.
Ia menerangkan, pengembangan investasi penguatan kebijakan hilirisasi industri tidak hanya mampu mengandalkan ekuitas internal perusahaan, tetapi perlu ada sokongan dana dari perbankan dalam negeri karena tingginya investasi yang diperlukan.
“Saya sangat jarang melihat ada proyek hiliriasai itu yang nilainya di bawah 1 miliar dollar, rata-rata di atas 1 miliar dollar. Dengan struktur seperti itu tentunya tidak hanya modal ekuitas yang diperlukan, tetapi juga perlu pinjaman bank,” katanya.
Menurutnya, selama ini pembiayaan proyek hilirisasi di Indonesia banyak mendapat dukungan dari lembaga keuangan internasional, terutama lembaga keuangan dari Tiongkok.
“Bahkan sekarang saya melihat bank-bank dari Singapura cukup agresif untuk ikut dalam pembiayaan proyek-proyek hilirisasi di Indonesia,” tambahnya.
Beberapa bank dalam negeri, tambahnya, juga mulai turut terlibat dalam membiayai proyek-proyek hilirisasi di Indonesia.
Septian menjelaskan, saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah menargatkan beberapa hal penting terkait hiliriasasi.
Pertama, pemerintah akan membentuk ekosistem industri yang didukung oleh hilirisasi dari komoditas yang dimiliki, seperti timah, bauksit, nikel, tembaga dan Kobalt.
“Jadi, strategi hilirisasi terfokus untuk membentuk ekositem mobil listrik yang kompetitif,” terangnya.
Kedua, pemerintah juga mendorong praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang lebih baik untuk kawasan industri smelter di Indonesia.
“Tidak hanya di smelternya tapi bagaimana kita mendorong untuk di tambangnya juga melakukan praktik pengelolaan lingkungan yang baik,” katanya.
Ketiga, pemerintah telah menargetkan beberapa investor untuk mendorong hilirisasi di komoditas yang lain.
“Saya kira untuk smelter ini cukup optimal. Namun kita juga harus memastikan praktik-praktik pengelolaan lingkungannya juga bisa terjamin dengan baik. Ini yang sekarang kita sedang memastikan bahwa gak boleh kalau hanya sekedar bangun smelter tapi mengabaikan aspek-aspek lingkungan,” ungkapnya.
Tantangan hilirisasi
Septian juga mengakui, saat ini pemerintah berhadapan dengan sejumlah tantangan hiliriasai industri, semisal tariff barier yang diciptakan negara-negara lain.
“Jadi, kalau kita lihat produk-produk nikel hasil hilirisasi kita itu banyak dikenakan anti dumping, anti subsidi, terutama dari Uni Eropa,” ungkapnya.
Hal ini yang menurutnya menjadi perhatian serius pemerintah, meskipun sejumlah negara seperti India, Korea Selatan sudah memulai melakukan investigasi terkait hal tersebut.
“Saya kira ini tantangan utama yang harus kita hadapi saat ini. Karena kalau produk hilirnya dikenakan trade remedy seperti itu, ini akan menjadi isu yang besar ya, karena barang kita menjadi tidak kompetitif di pasar internasional.
Selain soal tariff barier, salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengintegrasikan seluruh komoditas yang kita miliki sehingga menciptakan ekosistem industri yang kompetitif.
“Misalya, untuk bikin mobil listrik kita punya tembaga, kita punya tima, kita punya nikel, kita punya boksit, sehingga produk-produk hilirisasinya bisa membentuk ekosistem mobil listrik,” katanya.
“Jadi, akan lebih mudah buat kita menarik investasi pabrikan-pabrikan mobil listrik untuk masuk ke Indonesia,” tambahnya.