Pengamat Asuransi: Co-payment akan Cegah Fraud dan Moral Hazard yang Marak dalam Ekosistem Asuransi Indonesia 

0
49

Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo berpendapat pembagian risiko (co-payment) antara perusahaan asuransi dan pemegang polis, tertanggung atau peserta, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan dapat mencegah terjadinya fraud dan moral hazard yang jamak terjadi pada industri asuransi di Indonesia.

“Dalam ekosistem asuransi kesehatan sudah menjadi rahasia umum tingkat moral hazard atau fraud dikenal sangat tinggi diantaranya dari pihak asuransi sendiri,  Rumah Sakit , dokter dan paramedis dan pasien atau nasabah.  Paling sedikit yang disebut overutilization yakni  penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih aji mumpung  ada asuransi. Penerapan tanggungan sendiri diantaranya untuk mencegah fraud dan moral hazard  tersebut,” ujar Irvan saat dihubungi Theiconomics.com, Senin (9/6).

Menurut Irvan, praktik co-payment sudah lazim di negara lain, seperti Jerman dan Amerika Serikat yang biasa digunakan sebagai acuan oleh industri asuransi di Indonesia.

Co-payment menurut dia juga tidak mengurangi minat masyarakat membeli asuransi kesehatan karena kenaikan klaim asuransi kesehatan atau inflasi medis terus meningkat melebihi persentase nilai klaim yang harus ditanggung nasabah.

Baca Juga :   BPK dan Komisi XI DPR Sepakat Kasus Jiwasraya Tuntas 3 Tahun

“Strategi yang dapat ditempuh asuransi adalah dengan meningkatkan pelayanan dan efisiensi serta menjelaskan bahwa nasabah dan asuransi berada dalam  satu perahu yang sama. Asuransi adalah gotong royong. Sharing the pain sharing the gain,” ujarnya.

Perusahaan asuransi, tambahnya, juga harus melakukan edukasi kepada nasabah agar tidak keberatan menanggung sendiri klaim karena merupakan pembagian risiko agar keberlanjutan (sustainability ) asuransi dalam membayar klaim tetap terjaga dibanding opsi kenaikan premi yang harus ditanggung nasabah. 

“Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah, karena premi bersifat biaya tetap (fix cost), sedangkan co-payment bersifat variable cost , hanya saat terjadi klaim saja. Co-payment juga berfungsi sebagai premi tambahan manakala terjadi klaim saja,” ujarnya.

Sebelumnya, pada 19 Mei lalu, OJK menerbitkan SE OJK Nomor 7 tahun 2025 yang  mewajibkan perusahaan asuransi untuk menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta.

Dalam beleid itu, porsi pembiayaan kesehatan yang menjadi tanggung jawab Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan, dengan batas maksimum sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim rawat jalan dan Rp3 juta per pengajuan klaim rawat inap.

Baca Juga :   Kena Semprit dari OJK, Bos Akulaku Finance Indonesia Angkat Bicara

“Ketentuan tanggung jawab Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas serta akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik,” kata   Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi.

Menurut OJK, kata Riyadi, berdasarkan pengalaman di berbagai negara, termasuk Indonesia, mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan awareness pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan oleh fasilitas kesehatan.

Namun, kebijakan OJK ini menuai kritik dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Lembaga tersebut meminta OJK mengkaji kembali kebijakan tersebut karena berpotensi merugikan konsumen terutama bagi peserta yang sudah menandatangani kontrak polis sebelum kebijakan ini diberlakukan.

“Peserta seharusnya dijamin 100% oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen. Itu sudah menjadi risiko yang ditanggung perusahaan asuransi,” ujar Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo sepeti dikutip dari Kontan.

Lagi pula, selama infllasi medis terjadi, penerapan co-payment ini tidak mengurangi kebijakan perusahaan asuransi menaikkan premi yang dibayarkan nasabah.

Baca Juga :   Kasus Rekening Ilham Bintang Bukti Lemahnya Perlindungan Data Pribadi

Mengutip SE OJK itu,  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan.

Artinya, perusahaan asuransi akan secara berkala bisa saja menaikkan tarif premi asuransi.

Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengatakan memang pada saat polis jatuh tempo, ada “peluang besar kenaikan premi.”

Namun, menurut Budi, kenaikan premi itu “tidak sebesar sekarang.”

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics