Respons Kesepakatan Tarif Indonesia-AS, Prasasti: RI Tak Tergantung Ekspor, Investasi Jadi Prioritas Utama

Donald Trump /Asia Times
Prasasti Center for Policy Studies menilai tarif bea masuk 19% atas produk Indonesia yang diimpor ke Amerika Serikat (AS) tidak akan mengoyahkan fondasi perekonomian Indonesia.
Perekonomian Indonesia, jelas lembaga riset dimana salah satu dewan penasihatnya adalah Hashim Djojohadikusumo itu, tidak terlalu bergantung pada ekspor, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN.
“Ekspor ke AS hanya mencakup sekitar 10% dari total ekspor Indonesia. Dengan nilai ekspor tahun lalu sebesar US$ 290 miliar, skenario terburuk—jika akses pasar ke AS tertutup sepenuhnya—akan berdampak sekitar US$ 29 miliar. Angka ini signifikan, namun setara dengan hanya 2% dari total PDB Indonesia. Terasa, tapi tidak sampai mengguncang fondasi ekonomi,” ujar Gundy Cahyadi, Research Director di Prasasti dalam keterangan tertulis yang diterima Theiconomics.com, Kamis (17/6).
Menurut Gundy, fokus utama Indonesia saat ini seharusnya tetap pada upaya mendorong investasi.
“Langkah Presiden Prabowo untuk memperkuat kemitraan internasional patut diapresiasi. Indonesia telah menjajaki hubungan strategis dengan berbagai negara, termasuk bergabung dengan BRICS awal tahun ini,” ujarnya.
Menurut Gundy, keputusan Presiden Prabowo untuk tetap hadir dalam KTT BRICS meski ada tekanan dari Presiden Trump menunjukkan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang konsisten: memperluas kerja sama, memperkuat posisi, dan menjaga ketegasan. Jika Trump tampil dengan drama, maka Jakarta sedang menulis naskahnya sendiri.
Sebelumnya, pada 16 Juli, Presiden AS, Donald Trump menyampaikan sudah mencapai kesepakatan tarif dengan Presiden Prabowo Subianto. Dalam kesepakatan itu, tarif impor barang asal Indonesia ke AS diturunkan dari 32% menjadi 19%.
Sebaliknya, barang-barang AS yang diimpor ke Indonesia dikenakan tarif 0% alias bebas tarif.
Indonesia juga berkomitmen untuk membeli produk energi senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$ 4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing terbaru.
Menurut Gundy penting untuk melihat dinamika ini dalam konteks yang lebih luas.
“Tarif ala Trump lebih merupakan panggung politik ketimbang kebijakan jangka panjang yang serius. Pasar keuangan global sudah cukup terbiasa dengan gaya berpolitik teatrikal ini,” ujarnya.
Sebagai ilustrasi, Gundy mencatat bahwa setelah Liberation Day pada April lalu, volatilitas pasar global melonjak—dengan indeks VIX menyentuh level tertingginya sejak pandemi. Namun pada Juli, reaksi pasar cenderung mereda.
“Investor cenderung melihat ancaman tarif sebagai bagian dari pola lama: ancaman di depan layar, negosiasi di balik layar,” ujar Gundy.
Leave a reply
