Inflasi Rendah dan Rupiah Menguat, Apa Lagi yang Ditunggu BI sehingga Belum Turunkan BI Rate?

0
34

Bank Indonesia belum memangkas suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur [RDG]  20-21 Agustus 2024, padahal indikator-indikator ekonomi domestik memberi ruang yang lebar bagi bank sentral untuk menurunkan BI Rate yang sejak April 2024 berada di level tertinggi 6,25%.

Seperti RDG bulanan sebelumnya, Perry Warjiyo dan kawan-kawan masih tersandera kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reverve (The Fed) yang kemungkinan baru akan menurunkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate, pada September 2024.

Perry yang merupakan Gubernur Bank Indonesia mengakui saat ini Bank Indonesia memang masih menunggu kejelasan penurunan Fed Fund Rate, termasuk implikasinya pada imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) dan kecenderungan nilai tukar Dolar Amerika Serikat.

Berbicara dalam konferensi pers hasil RDG Agustus 2024, Rabu (21/8), Perry mengatakan, dalam sebulan terakhir ekonomi Amerika Serikat memang mengalami titik balik (turning point).

Pertumbuhan ekonomi negara itu pada Semester II kemungkinan akan melambat. Tingkat inflasinya semakin mengarah ke sasaran jangka panjang di level 2%.

Berdasarkan analisis atas data-data terakhir ekonomi Amerika Serikat, termasuk pernyataan Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed dan ekspektasi pelaku pasar, Bank Indonesia dalam RDG Agustus ini membuat dua skenario perkiraan pemangkasan Fed Fund Rate (FRR).

Skenario pertama yang disebut baseline scenario, denga probabilitas di atas 75%, Bank Indonesia memperkirakan Fed Fund Rate turun dua kali pada 2024 yaitu pada September sebesar 25 basis poin dan kemungkinan pada November atau Desember sebesar 25 basis poin.

Baca Juga :   Bank Indonesia Perkirakan Transaksi Uang Elektronik akan Tembus Rp533 Triliun

Masih dalam baseline scenario, Bank Indonesia memperkirakan tahun depan, The Fed memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga kali, juga masing-masing sebesar 25 basis poin yaitu pada triwulan I dan sebagian pada triwulan II.

Kemudian skenario kedua, yang disebut skenario potensial dengan probabilitas yang lebih kecil yaitu 50% hingga 75%. Seperti pada skenario pertama, dalam skenario kedua ini Bank Indonesia juga memperkirkan 2024 ini The Fed memangkas suku bunganya sebanyak dua kali. Tetapi tahun depan, pemangkasan hanya dua kali, tidak tiga kali seperti pada skenario pertama.

Pemangkasan Fed Fund Rate bukan satu-satunya indikator yang menentukan arah kebijakan suku bunga Bank Indonesia. Perry mengatakan, Bank Indonesia juga mencermati imbal hasil (yield) US Treasury, terutama US Treasury 10 tahun.

Menurutnya, US Treasury dua tahun memiliki korelasi yang kuat dengan Fed Fund Rate. Seiring dengan penurunan Fed Fund Rate, imbal hasil US Treasury dua tahun juga akan terus turun dari 4,8% pada triwulan II 2024 menjadi 3,9% pada triwulan III 2024 dan diperkirakan sebesar 3,5% pada triwulan I-2025.

Namun, Perry mengatakan, imbal hasil US Treasury 10 tahun tidak memiliki korelasi yang kuat dengan penurunan Fed Fund Rate. US Treasury 10 tahun ini tergantung pada kondisi defisit APBN pemerintah Amerika Serikat, karena digunakan untuk membiayai defisit APBN.

Saat ini, kata Perry, imbal hasil US Treasury 10 tahun memang mulai turun ke 3,9%, seperti halnya US Treasury dua tahun.

“Tetapi ke depan penurunanya itu tidak akan besar,” ujar Perry.

Baca Juga :   BI: Pertumbuhan Kredit Berjalan Lambat, DPK Kencang

Bank Indonesia memperkirakan imbal hasil US Treasury 10 tahun berada di level 3,8% pada triwulan I-2025 dan tetap di level tersebut pada triwulan II-2025. Kemudian baru turun ke level 3,7%-3,6% pada triwulan III dan IV 2025.

Nilai tukar Dolar Amerika Serikat terhadap berbagai mata uang juga menjadi perhatian Bank Indonesia dalam menentukan arah suku bunga. Perry mengatakan, saat ini Dolar Amerika Serikat memang mengalami pelemahan yang dipengaruhi oleh arah Fed Fund Rate dan imbal hasil US Treasury. 

Selain itu, nilai tukar Dolar Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dan politik domestik Amerika Serikat yang akan menyelenggarkan pemilihan presiden.

Bank Indonesia, kata Perry, “melihat Dolar akan cenderung melemah” ke depan.

Lantas kapan BI menurunakan BI Rate? 

Perry mengatakan, seperti dalam RDG Juli 2024, ruang untuk menurunkan BI Rate baru dibuka Bank Indonesia pada triwulan IV 2024 atau antara Oktober hingga Desember.

“Sementara untuk triwulan III ini, fokus kami (tetap) untuk penguatan lebih lanjut stabilisasi nilai tukar Rupiah,” ujar Perry.

Ia mengatakan, secara fundamental Rupiah akan cenderung menguat karena dana-dana asing sudah kembali masuk terutama ke SBN dan pasar saham. Selain itu, fundamental ekonomi Indonesia juga kokoh yang terlihat dari inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan defisit transaksi berjalan yang rendah. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk menjaga agar nilai tukar Rupiah tetap kuat.

Perry mengatakan, ada beberapa pertimbangan mengapa Bank Indonesia masih fokus pada penguatan lebih lanjut Rupiah. Pertama, kata Perry, Rupiah menguat membuat harga-harga lebih murah, khususnya harga-harga pangan. Rupiah yang kuat juga mendukung inflasi yang rendah, khususnya dari imported inflation.

Kedua, penguatan Rupiah juga mendukung sektor-sektor yang memiliki kandungan impor tinggi dan menciptakan lapangan kerja. Contoh industri tekstil dan manufaktur. 

Baca Juga :   Bank DKI Dorong Inklusi Keuangan di FEKDI 2024

Ketiga, penguatan Rupiah juga bagus untuk stabilitas keuangan dan perbankan.

Di sisi lain, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan, penurunan BI Rate juga memiliki manfaat langsung baik bagi dunia usaha maupun masyarakat dalam tataran individu.

“Kita sebagai masyarakat ataupun sebagai pelaku bisnis berharap [penurunan BI Rate] tidak hanya 25 basis poin, tetapi kalau bisa signifikan sampai 50 basis poin,” ujar Myrdal dalam acara Tiger Insight di saluran Youtube Maybank Sekuritas, Selasa (20/8).

Penurunan suku bunga acuan ini, jelas Myrdal, dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Suku bunga yang lebih rendah mendorong pelaku usaha melakukan ekspansi dengan mengajukan kredit baru atau mengurangi biaya cicilan untuk utang eksisting.

“Begitu juga dari sisi individu. Kita berharap juga dengan suku bunga yang lebih rendah, mereka yang tadinya ingin membeli rumah atau ingin membeli mobil dengan sistem kredit, harapanya cicilan mereka menjadi lebih rendah,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics