Adopsi Konsep OJK, Kementerian BUMN Dorong Penguatan Manajemen Risiko dan Tata Kelola Terintegrasi di BUMN
Setelah melakukan klasterisasi dan holidingisasi, dalam dua tahun terakhir Kementerian Badan Usaha Milik Negara [BUMN] fokus melakukan penguatan manajemen risiko [risk management] dan tata kelola [governance] perusahaan BUMN.
Penguatan manajemen risiko dan tata kelola, kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, bertujuan agar tak ada lagi “permasalahan” seperti yang terjadi di BUMN karya serta terakhir di Indofarma dan Kimia Farma.
Tanpa secara eksplisit menyebutkan masalah di BUMN-BUMN tersebut, Tiko – sapaannya – mengatakan permasalahan di BUMN tersebut terjadi karena tata kelola dan manajemen risiko yang lemah.
Penguatan manajemen risiko dan tata kelola, jelasnya, dilakukan dengan mewajibkan setiap BUMN memiliki direksi khusus manajemen risiko, serta menerapkan standar tata kelola seperti di sektor keuangan.
“Jadi, kita lakukan penguatan tata kelola terintegrasi yang meminjam konsep yang ada di OJK, bahwa BUMN induk atau BUMN holding harus menatakelolakan juga anak-anak usaha di bawahya,” ujar Tiko dalam acara “Market Outlook 2024 – Cruising the Crossroads on the Narrow Strait” yang digelar Mandari Investasi, Selasa (16/7).
Tata kelola terintegrasi ini, kata Tiko, dulunya tak diterapkan di BUMN. Akibatnya, “banyak fraud yang terjadi di level anak usaha.”
Dengan penguatan manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi, harapannya ke depan semakin banyak lagi perusahaan BUMN yang menjadi perusahaan kelas dunia seperti Mandiri, BRI, Pertamina dan Telkom.
“Kita harapkan dalam lima tahun ke depan muncul size-size baru yang bisa masuk ke top company di dunia, contohnya Pelindo Group yang sudah kita merger menajdi satu Pelindo. Injourney yang sekarang menyatukan seluruh airport, wisata dan juga Garuda,” ujarnya.
Tak hanya itu, dengan penguatan manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi, tambah Tiko, juga diharapkan BUMN-BUMN yang melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Efek juga memiliki kapitalisasi yang besar.
“….pada waktunya kita tidak lagi punya perusahaan-perusahaan listed yang kecil-kecil yang tidak signifikan, seperti Indofarma, seperti Adhi Karya, tetapi kita akan fokus pada BUMN-BUMN yang punya signifikan size yang memang punya kompetensi dan fututre outlook yang baik yang bisa dibawa ke capital market,” ujarnya.
Penguatan manajemen risiko dan tata kelola BUMN ini, jelas Tiko, merupakan bagian dari transformasi menyeluruh pada BUMN. Pada tahap awal, kata dia, dilakukan konsolidasi melalui klasterisasi dan holdingisasi.
Konsolidasi BUMN ini, membuat jumlah perusahaan BUMN menciut dari 110 BUMN menjadi hanya sekitar 40 BUMN. Jumlah ini, kata Tiko, akan terus berkurang ke depannya.
“Terakhir kita gabungkan AP I dan AP II di dalam Injourney dan kita juga akan mentransfer Garuda menjadi anak perusahaan Injourney dalam waktu dekat, sehingga nanti makin lama makin bayak BUMN yang masuk dalam klaster dan holding,” ujarnya.
Dari 40 BUMN saat ini, terbagi dalam 12 klaster yaitu Industri Energi, Minyak dan Gas; Industri Kesehatan; Industri Mineral dan Batubara; Industr Pangan dan Pupuk; Industri Perkebunan dan Kehutanan; Jasa Asuransi dan Dana Pensiun; Jasa Infrastruktur; Jasa Keuangan; Jasa Logistik; Jasa Pariwisata dan Pendukung serta Jasa Telekomunikasi dan Media.