Kebijakan Industri Hasil Tembakau Dinilai Berat Sebelah
Nada suara Roy Mandey sedikit meninggi ketika menyinggung Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai di wilayah Sumatera bagian Selatan yang membebaskan tiga agen rokok ilegal pada periode September lalu setelah membayar denda Rp150 juta.
Bagi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) ini, berita tersebut sangat miris di tengah upaya pemerintah yang terus memperketat pengaturan perdagangan rokok untuk mengendalikan konsumsi rokok, terutama di kalangan anak-anak.
“Kami membayar pajak, kami mengikuti peraturan yang berlaku, kami melakukan investasi, kami menyerap tenaga kerja, dan sebagai tempat untuk konsumsi rumah tangga tercipta. Tetapi justru satu sisi yang ilegal hanya dengan membayar bisa selesai,” kata Ketua Umum APRINDO, Roy dalam diskusi publik bertajuk “Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Hotel Manhattan Jakarta, Senin (23/09/2024).
Tak hanya terus menaikkan tarif cukai rokok saban tahun, Pemerintah terus membuat regulasi yang kian mengancam keberlangsungan industri tembakau di Indonesia. Pada 2024 ini, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 (PP Kesehatan). Saat ini, Kementerian Kesehatan juga sedang merancang Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang isinya membuat industri hasil tembakau kian terjepit.
Di dalam Rancangan Permenkes tersebut, di antaranya terdapat aturan standardisasi kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau dan rokok elektronik (plain packaging). Pada PP Kesehatan juga terdapat klausul larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta larangan pemajangan iklan luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
PP Kesehatan maupun Rancangan Permenkes ini disebut memiliki tujuan kesehatan. Namun, isinya sarat dengan upaya mematikan industri. Menurut Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, mestinya pengaturan industri rokok menjaga keseimbangan antara empat pilar sejalan dengan Undang-Undang Cukai yaitu pengendalian (kesehatan), penerimaan negara, ekonomi (industri) dan tenaga kerja.
“Kalau ada satu pilar saja (kesehatan) yang muncul tanpa mempertimbangkan tiga pilar lainnya maka saya kira ini yang perlu kita kritisi dan kita berikan catatan,” ujar Tauhid dalam diskusi tersebut.
Simulasi yang dilakukan INDEF menunjukkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek (plain packaging), larangan berjualan di sekitar pusat pendidikan dan tempat bermain anak, serta pembatasan iklan rokok berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi dan pendapatan negara. Dari sisi ekonomi, potensi yang hilang mencapai Rp308 triliun atau setara 1,5% dari PDB.
Sementara dari aspek pendapatan negara, potensi yang hilang mencapai Rp160,6 triliun atau 7% dari total penerimaan perpajakan. Dari sisi ketenagakerjaan, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan pekerjaan bagi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja.
Kementerian Perindustrian Tak Dilibatkan
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah IHT terdapat sebanyak 1.316 unit usaha pada saat ini. Sebagian besar atau 87,39% di antaranya adalah industri skala kecil dan menengah (IKM). Industri ini mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 537.452 orang.
Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Nugraha Prasetia Yogie, mengatakan dalam lima tahun terakhir (2019-2023) produksi IHT cenderung terus mengalami penurunan, rata-rata sebesar -2,81% per tahun.
Sejalan dengan penurunan produksi, utilisasi sektor IHT pada tahun 2023 hanya sebesar 63,59%, belum sebaik kondisi sebelum pandemi yaitu 66,95%. “Dengan adanya perubahan kebijakan IHT, ini tentunya akan berdampak kepada IHT khususnya skala IKM yang mencapai 87,39%. Mereka akan lebih merasakan dampak,” ujarnya.
Di sisi lain, menyitir data Kementerian Keuangan, Yogie mengungkapkan peredaran rokok ilegal terus meningkat sejak 2019, dari 3,03% menjadi 6,9% pada 2023. Pelanggaran tertinggi adalah rokok tanpa pita cukai atau rokok polos. Keberadaan rokok ilegal, menurutnya, mengganggu kinerja IHT, terutama dalam hal penurunan produksi IHT legal. Pada akhirnya, ini akan mempengaruhi kesejahteraan pekerja atau buruh industri legal.
Selain itu, Yogie mengatakan kebijakan standardisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik yang mengarah ke kemasan polos akan merugikan perusahaan IHT karena antara satu merek dan lainnya akan terlihat sama alias tidak ada pembeda.
“Ketentuan penyamaan kemasan tentu akan melanggar Undang-Undang Merek dan Hak Cipta. Ketentuan ini juga akan membuka pasar produk tembakau dan rokok elektronik ilegal karena konsumen sudah tidak perlu lagi malu untuk membeli produk rokok ilegal karena kemasannya sama sehingga akan mengancam kinerja industri rokok yang legal dan mengganggu pasar saat ini,” ujarnya.
Kementerian Perindustrian, sebagai pengatur sektor hulu untuk IHT, termasuk di antara 26 Kementerian/Lembaga yang menyusun PP 28/2024. Namun, Yogie mengatakan, Kementerian Perindustrian tidak dilibatkan dalam konsultasi publik untuk Rancangan Permenkes tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang dilakukan pada 3 September lalu.
Rancangan Permenkes ini terdiri dari 29 pasal, di antaranya terdiri dari standardisasi desain kemasan produk tembakau, pencantuman peringatan kesehatan, pencantuman informasi pada kemasan, serta ketentuan peringatan kesehatan dan informasi pada iklan.
Berdasarkan kajian atas rancangan beleid tersebut, Yogie menyampaikan Kementerian Perindustrian menyimpulkan dengan pengaturan baru pada PP 28/2024, terlebih dengan Rancangan Permenkes yang baru, IHT akan sangat kesulitan. “Pengaturan pada Rancangan Permenkes tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik ini cenderung memperketat bukan mendetailkan atau merincikan ketentuan pengamanan zat adiktif produk tembakau dan rokok elektronik pada PP 28 tahun 2024,” ujarnya.
Pengaturan ini, tambahnya, akan berdampak besar bagi kinerja industri hasil tembakau, mulai dari penjualan, produksi, efisiensi tenaga kerja hingga penerimaan negara. “Yang kami inginkan adalah penyusunan pengaturan perlu melibatkan perusahaan industri hasil tembakau, akademisi, konsumen, dan stakeholder terkait lainnya, termasuk dengan pemangku kebijakan yang lebih luas mulai dari hulu hingga hilir,” ujarnya.
Apalagi, menurutnya, ekosistem pertembakauan di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Struktur IHT di Indonesia sangat komprehensif didukung oleh sumber daya alam, industri pendukung yang sudah ada seperti kertas, filter, kemasan dan lainnya. Indonesia juga punya laboratorium uji yang sudah terakreditasi internasional dan kawasan/zonasi industri yang sudah tersebar. Belum lagi banyaknya tenaga kerja yang terlibat dalam industri hasil tembakau di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Kementerian Perindustrian, pengaturan rokok di negara lain tidak serta merta dapat langsung diadopsi di Indonesia. Namun, perlu kehati-hatian dan pertimbangan lebih mendalam oleh para pemangku kebijakan dalam penyusunan pengaturan terhadap industri hasil tembakau.
Perhatikan Empat Pilar
Sejalan dengan INDEF, dalam diskusi tersebut, Perwakilan dari Kementerian Keuangan menegaskan industri rokok memiliki banyak aspek, sehingga Kementerian Keuangan dalam membuat kebijakan terkait cukai hasil tembakau memperhatikan empat pilar kebijakan.
Pertama, pengendalian konsumsi yang berkait dengan kesehatan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020 – 2024 telah ditetapkan target prevalensi merokok usia 10-18 tahun sebesar 8,7%. Perhatian terhadap pilar kesehatan ini tidak boleh mengabaikan tiga pilar lainnya.
Pilar kedua adalah industri dan tenaga kerja termasuk sektor pertanian. Ketiga, pilar penerimaan negara dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Keempat, ketika membuat kebijakan jangan sampai menimbulkan ekses yang berlebih dari sisi rokok ilegal.
“Ketika kami membuat kebijakan, kami juga tidak sendirian. Kami juga melibatkan pemangku kebijakan atau pemangku kepentingan yang ada, baik dari sisi [Kementerian] Perindustrian, asosiasi dan industrinya kami libatkan juga. Kami minta juga bagaimana pandangan dari sisi industri, dari tenaga kerja dan dari seluruh sektor yang ada. Kami juga melibatkan teman-teman kesehatan pada saat kami menyusun kebijakan terkait cukai hasil tembakau,” ujarnya.
Dari sisi pendapatan negara, penerimaan hasil cukai tembakau berkontribusi sebesar 12,2% dari total penerimaan negara. “Sektor ini memang sangat memiliki peran yang cukup harus diperhitungkan sehingga ketika kita membuat kebijakan juga memang harus melibatkan banyak pihak dan tidak bisa hanya mempertimbangkan dari satu sisi saja, harus banyak aspek yang kita perhatikan,” jelasnya.
Dari sisi pengendalian konsumsi, khususnya prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun, sesuai RPJMN pada 2024 ditargetkan sebesar 8,7%. “Kami dapat informasi terkini dari Kementerian Kesehatan berdasarkan survei kesehatan Indonesia 2023, prevalensi merokok anak 10-21 tahun sebesar 7,4%. Jadi, dari sisi prevalensi sudah memenuhi target RPJMN,” jelasnya.
Oleh karena itu, Kemenkes didesak oleh berbagai pihak untuk segera merevisi PP 28/2024 dan membatalkan rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes karena dinilai merugikan industri tembakau dan sektor terkait lainnya, seperti peritel dan periklanan. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampak ekonomi yang luas ini disinyalir dapat menjadi bumerang dan beban tambahan bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang. (*)