The Coronavirus End Game
Dalam catatan New York Times dan The Economist, tingkat kematian “ekstra” di banyak negara hanya +40% di atas normal/bulan, atau hanya 0,04% dari populasinya (selama 2 bulan ini) dan trennya pun menurun.
Kenapa menurut saya “sedikit”? Karena tingkat kematian wajar (tanpa corona) di negara-negara itu berada di kisaran 0,6% dari populasi per tahun. Mudahnya begini: jika kita punya 1.000 kenalan, maka pada kondisi normal (tanpa corona) ada 1 kenalan yang meninggal setiap 2 bulan. Dengan corona, maka berubah menjadi 0,84% (naik 40%) menjadi 1 kenalan yang meninggal setiap 1,5 bulan. Sedikit perubahannya.
Analisis Death-Rate di “End Game”: 94% Selamat, 6% Meninggal
Kenapa disebut “End Game”? Sederhana saja, saya hanya menganalisis pada negara/wilayah yang sudah menyelesaikan lebih dari 75% kasus coronanya, dan sudah melakukan tes pada lebih dari 3% populasi – yaitu Spayol, Jerman, Australia, Denmark, Israel, Swiss, Austria, termasuk yang kecil seperti Islandia, Luxembourg, dan Brunei. Prinsip saya, kalau mau menghitung jumlah ikan, tunggu sampai airnya tenang dan jernih dulu, baru kita bisa lihat jumlah ikannya. Pisahkan data dari noise. Dalam pengalaman saya membuat business strategy dan melakukan scenario planning, klien lebih bisa menerima data sederhana dibandingkan predictive model canggih.
Ternyata tingkat kematian kasus tuntas di End Game hanya di kisaran 6% (median). Artinya 6% penderita meninggal, dan 94% lainnya dinyatakan sembuh. “Kasus tuntas” maksudnya adalah mereka yang sudah tidak sakit lagi: sembuh atau meninggal. Jadi kemungkinan seseorang selamat jika terkena Covid-19 adalah 94%. Semakin banyak data masuk, akan terlihat bahwa tingkat sembuh menjadi lebih besar lagi.
Estimasi Orang yang Sudah Terinfeksi di “End Game”: 0,7% dari Penduduk
Data resmi negara-negara End Game menunjukkan kisaran 0,4% dari penduduk sudah terkena Covid 19. Atau 4 orang terinfeksi per 1.000 penduduk. Tapi kalkulasi saya menunjukkan perbedaan.
Dengan matematika sederhana, jika yang meninggal 6% dan kematian “ekstra” tadi 0,04%, maka jumlah yang terinfeksi sudah 0,7% dari populasinya (hampir 2 kali angka resmi mereka). Yang suka matematika pasti paham yang saya maksud.
Dari hitungan yang sama, artinya jumlah yang terinfeksi baru adalah 0,33% dari populasi per bulan. Atau kalau berlanjut, dalam setahun akan mencapai 0,33% x12 bulan = +/- 4% dari populasinya.
Sebenarnya, kita tidak perlu panik karena angka penularan yang 0,7% tadi. Karena 3 hal:
Tidak Semua Orang Sakit Bersamaan
Pertama: tidak semua orang sakit berbarengan – kemungkinan yang sakit pada satu masa hanya 0,33% dari populasi. Dengan laju yang konstan, tiap bulan pasien akan sembuh/meninggal, dan ada orang baru lagi yang terkena. Dengan laju kematian diasumsikan konstan, artinya yang “aktif sakit” adalah 0,33% dari populasi per bulan (3 dari 1.000 orang).
Yang Meninggal Sangat Sedikit
Kedua: kematian “extra”-nya sangat sedikit (0,04% dari populasi). Angka kematian (kesembuhan) jauh lebih penting dari berapa yang terkena. Mungkin terasa “kejam” berpikir “tidak apa-apa yang kena banyak, asalkan yang mati sedikit” – tapi kita perlu bertindak berdasarkan pemahaman akan situasi perang yang ada.
Tren Kematian Ekstra Menurun
Ketiga: karena tren kematian “ekstranya” menurun, artinya yang infeksi baru pun akan menurun dari 0,33% populasi per bulan. Dengan demikian, rasanya tidak akan mencapai angka 4% total terinfeksi dalam setahun.
Kita Tinggal di Iklim yang Berbeda
Keempat: meski tadi saya bilang “3 hal”, tapi sebenarnya ada satu lagi yang menurut saya cukup berpengaruh. Hampir semua End Game countries tadi adalah negara dingin, yang dirugikan secara iklim dibandingkan kita yang ada di daerah panas dan lembab. Tentu Indonesia punya disadvantages seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih rendah dan sebagainya – tapi keunggulan iklim Indonesia juga pasti berpengaruh ke hasil akhir.
Kelemahan Data yang Ada
Data kematian “ekstra” ini lebih representatif. Data tes bisa salah (atau kurang), karena negara-negara maju pun sebenarnya pontang-panting melakukan tes. Sebaliknya, data kematian relatif lebih bisa dipercaya karena besar kemungkinan tercatat (meski terlambat). Jangan cuma melihat kelemahan pencatatan di satu atau dua negara, lihatlah apa yang terjadi di banyak tempat, dan lihat big picture-nya. Swedia dan Belanda pun, yang cenderung menghindari lockdown, tidak jauh beda angka kematian ekstranya dibandingkan yang lain.
Before Changing the World, Change Your House First
Kita pun sudah lumayan menyadari bahwa lockdown bukan sebuah pilihan untuk Indonesia. Amerika Serikat dengan paket stimulus triliunan dolar AS pun merasa kurang dan tidak tahan dengan lockdown. Saya dulu merasa isolasi dan enforcement social distancing kurang – tetapi belakangan, bagaikan diguyur air dingin, saya tersadar bahwa hal ini tidak mudah. Mencegah asisten rumah tangga untuk pulang kampung saja sulitnya bukan main – meski dia sudah hidup berkecukupan plus ekstra bonus untuk tidak mudik. Seperti kata orang bijak: before you want to change the world, try to change your house first. Dengan segala keterbatasan yang ada pada pemerintah kita, saya kok merasa penanganan pandemi corona di Indonesia malah lebih smooth dan elegan dari Amerika – lucu ya?
Kita mungkin panik melihat gambar-gambar Ekuador, di mana mayat bergelimpangan di tengah jalan. Tapi marilah tenangkan diri dan cerna baik-baik: apakah memang itu representasi semua daerah di sana? Dan berapa lama itu terjadi? Sejauh ini data kematian ekstra Ekuador “hanya” +84% dari kondisi normal, artinya masih sangat “aman” dan tidak jauh berbeda dibandingkan tempat-tempat lain. Angka Ekuador memang belum menunjukkan penurunan, jadi kita akan monitor terus beberapa minggu ke depan.
Bagaimana dengan Indonesia? Coba lihat sekeliling kita: berapa banyak yang meninggal karena corona? Pasti ada kerabat dari teman yang meninggal. Tapi apakah di sekeliling kita banyak? Saya rasa tidak. Karena angka Indonesia, dengan segala kelemahan pencatatannya, pun menunjukkan kita dalam kondisi yang sangat aman.
Saya tidak pakai data “ajaib” dan simulasi yang rumit. Silakan lihat di worldometers.info/coronavirus, dan baca artikel New York Times dan The Economist tentang “extra death” yang mereka perbarui setiap minggu. Sekali lagi, data bisa saja salah, tapi marilah lihat big picture-nya. Untuk bisa keluar dari hutan kita tidak boleh panik, naiklah ke pohon yang tinggi untuk bisa melihat kondisi secara keseluruhan.
Maka dari itu, seiring dengan mulai dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), saya merasa kita tidak perlu cemas berlebihan. Tetaplah waspada, jaga jarak, cuci tangan, dan jangan lupa pakai masker! Semoga kita menjadi masyarakat yang bisa memasuki End Game dengan kompak dan keluar sebagai pemenang.
Link materi diskusi webinar Bedah Angka Covid-19 diunduh Diskusi Webinar Bedah Angka Corona 200513a
Penulis: Alex Mulya
Research Director Iconomics