Anggota Komisi II Minta Wacana Kampanye di Kampus Perlu Diatur Mekanisme
Wacana kampanye di kampus yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu diatur baik secara ketentuan maupun mekanisme pelaksanaannya. Pengaturan soal mekanisme pelaksanaan perlu dilakukan untuk membuka ruang dan kesempatan bagi seluruh peserta pemilu sehingga tidak menimbulkan konflik.
Selain itu, kata anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus, wacana kampanye di kampus dapat menjadi media diskusi dan ajang adu gagasan untuk menyampaikan visi serta misi di hadapan civitas akademika. “Para kontestan dapat diuji kemampuan intelektualitasnya. Sebab, warga kampus termasuk kelompok kritis sehingga bisa menguji kualitas ataupun program yang dijanjikan para calon,” kata Guspardi dalam keterangan resminya, Rabu (27/2).
Kendati demikian, kata Guspardi, pelaksanaan kampanye di kampus harus bebas dari adanya praktik-praktik intervensi, terutama dari pihak kampus maupun pemerintah. Wacana kampanye di kampus jangan sampai menimbulkan dinamika yang dapat memicu konflik antara kampus dengan partai atau partai dengan partai.
“Rektor itu diangkat menteri, sementara menteri adalah pembantu presiden. Nanti presiden melakukan intervensi. Akibatnya, hanya partai tertentu yang bisa berkampanye di kampus. Hal itu tentu menimbulkan ketidakadilan bagi peserta pemilu lain,” katanya.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebutkan, kampus atau perguruan tinggi dapat menjadi salah satu lokasi kampanye bagi peserta pemilu. Sesuai dengan Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang pelaksanaan, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pelaksanaan kampanye di kampus, kata Hasyim, sepanjang tidak menggunakan fasilitas di lingkungan kampus, maka hal tersebut boleh dilakukan. Mengingat peraturan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 hanya melarang penggunaan fasilitas, tapi tidak melarang aktivitas kampanye.
“Jadi kampanye di kampus itu boleh. Dengan catatan yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaga, boleh. Apalagi dunia akademik, dunia kampus, bagian dari masyarakat kritis di Indonesia. Harus diajak bicara, men-challenge, mengajukan pertanyaan,” kata Hasyim.