Anggota Komisi VII DPR Minta Menteri ESDM Tindak Semua Perusahaan Pertambangan di Raja Ampat

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meninjau kegiatan pertambangan nikel milik PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat Papua Barat, Sabtu (7/6)/Foto: Kementerian ESDM
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengevaluasi dan tidak tebang pilih dalam penerbitan seluruh izin konsesi pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“Kami mendapat banyak pertanyaan dari masyarakat kenapa Menteri ESDM hanya menindak PT Gag Nikel, sedangkan yang lain tidak. Padahal Kementerian Lingkungan Hidup telah menyebut keempat perusahaan nikel di sana melakukan pelanggaran,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty kepada wartawan dalam keterangannya, Selasa (10/06/2025).
Apalagi, Raja Ampat, menurut Evita adalah masa depan pariwisata, konservasi geologi, budaya dan kelestarian laut Indonesia. Oleh karena itu, dia meminta jangan korbankan Indonesia dan Raja Ampat hanya demi segelintir perusahaan nikel ini.
Menurut Evita, dibutuhkan ketegasan terhadap keberadaan tambang nikel di pulau-pulau kecil di Raja Ampat. Bila kehadiran tambang tersebut merusak ekosistem di Raja Ampat, maka harus ditutup tanpa pandang bulu. Contohnya masalah tambang nikel di Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau Batangpele yang berada di kawasan Geopark Raja Ampat, karena termasuk di Kawasan Pengembangan Pariwisata Waigeo dan sekitarnya dalam Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional Raja Ampat Tahun 2024-2044 atau pada pusat aktivitas wisata di Raja Ampat.
“Pulau-pulau ini, termasuk Pulau Gag merupakan pulau kecil yang harusnya tidak boleh ditambang berdasarkan UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau ini jelas melanggar undang-undang,” ujarnya.
Perlu diketahui, Geopark Raja Ampat resmi diakui sebagai UNESCO Global Geopark pada 2023. Area wilayah geopark lebih kurang 36.660 km², mencakup Waigeo, Batanta, Salawati, Misool, dan terletak di jantung Coral Triangle, dengan 75% spesies karang global dan lebih dari 1.600 jenis ikan tersebar di sini. Keberlanjutan pengelolaannya sangat bergantung pada penanganan ancaman seperti pertambangan.
Dirinya bersama tim Komisi VII DPR RI, komisi yang membidangi antara lain pariwisata, ekonomi kreatif, dan industri, telah melakukan pertemuan dengan gubernur Papua Barat Daya dan para bupati termasuk Bupati Raja Ampat bersama masyarakat beberapa minggu lalu menyerap aspirasi daerah terkait pariwisata disini, terutama setelah penetapan Raja Ampat sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) melalui Perpres No.87 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional Raja Ampat Tahun 2024-2044.
Dalam Perpres itu, kata dia, Raja Ampat merupakan destinasi pariwisata geopark kepulauan yang berkualitas, inklusif serta berbasis konservasi dan masyarakat secara berkelanjutan serta menjadi penggerak bagi pembangunan ekonomi lokal. Oleh karena itu, Evita berharap adanya kesamaan visi diantara kementerian/lembaga serta pemerintah daerah dalam membahas ini, termasuk dari sisi regulasinya, jangan terjadi ego-sektoral.
“Kami melihat pertambangan di sana akan selalu berlawanan dengan dengan rencana pembangunan pariwisata berkelanjutan disana. Ini harus dibongkar, kita semua jangan melakukan pembohongan publik. Sebab jika ini dibiarkan maka akan merugikan Raja Ampat, Papua Barat Daya, Papua dan Indonesia. Masa demi 3-4 perusahaan tambang nikel ini kepentingan yang jauh lebih besar kita korbankan?” beber dia.
Komisi VII DPR RI juga menangkap keresahan dari daerah yang tidak dilibatkan dalam pemberian izin tambang bahkan perusahaan-perusahaan tambang ini juga tidak pernah berkomunikasi. Fenomena ini menimbulkan berbagai isu hukum, lingkungan, dan tata kelola.
“Mereka (daerah) mengeluh karena hanya jadi penonton, bahkan perusahaan-perusahaan tambang ini berkomunikasi juga tidak dengan daerah. Itu diungkapkan para kepala daerah,” tutur Evita.
Menurut dia, banyak kepala daerah yang meminta agar pemerintah daerah dilibatkan dalam proses awal. Jangan sampai peran pemda atas wilayahnya termasuk aspek lingkungan dan sosial dihilangkan, karena jika tidak dilibatkan potensi kerusakan lingkungan bisa meningkat, dan terjadi ketimpangan-ketimpangan lain terutama dalam penerimaan daerah, dan bisa saja memicu konflik sosial karena kurangnya konsultasi dan partisipasi publik.
“Revisi regulasi teknis agar daerah diikutsertakan dalam proses evaluasi izin, dan meningkatkan mekanisme konsultasi publik sebelum izin diberikan,” katanya.
Leave a reply

