Membedah Transportasi Berbasis Aplikasi Khusus Ojol Dalam Revisi UU LLAJ

0
459
Reporter: Kristian Ginting

Kendati mulai muncul pada 2010 dan populer sejak 2015, keberadaan ojek online (Ojol) sebagai angkutan umum masih menjadi perdebatan. Bila merujuk kepada Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), sepeda motor sama sekali tidak diatur menjadi transportasi umum.

“Dan memang sebaiknya tidak menjadi transportasi umum,” tutur anggota Komisi V DPR Sudewo beberapa waktu lalu.

Pernyataan Sudewo ini berkaitan dengan proses revisi terhadap UU LLAJ itu, di mana sepeda motor yang kini ramai menjadi Ojol menimbulkan kontroversi karena akan dimasukkan sebagai transportasi umum. Apalagi sepeda motor sebagai transportasi umum dinilai sangat rawan terjadinya kecelakaan.

Merujuk data Korlantas Polri, misalnya, angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 103.645 kasus pada 2021. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan data 2020 yang sebanyak 100.028 kasus. Berdasarkan jenis kendaraan, keterlibatan kasus kecelakaan lalu lintas yang paling tinggi adalah sepeda motor dengan persentase 73%. Urutan kedua adalah angkutan barang dengan persentase 12%.

“Sepeda motor itu rawan terjadinya kecelakaan, itu hasil survei. Bahwa kecelakaan selama ini hampir 80% karena sepeda motor. Sangat tidak layak kalau sepeda motor menjadi kendaraan umum untuk transportasi,” ujar Sudewo.

Dari pernyataannya tersebut, jelas Sudewo yang merupakan anggota Fraksi Gerindra itu menolak ojol dimasukkan sebagai transportasi umum dalam revisi UU LLAJ. Jika dipaksakan, menurutnya, cukup hanya melalui peraturan pemerintah dan atau melalui peraturan menteri perhubungan (Permenhub).

Baca Juga :   Aludi Gelar Acara Edukasi soal Securities Crowdfunding atau Model Pembiayaan Berbasis Teknologi bagi masyarakat

Tidak hanya Ojol, keberadaan transportasi berbasis aplikasi sejak awal kemunculannya telah menimbulkan kontroversi. Dan Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami persoalan dalam mengatur transportasi berbasis aplikasi. Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa juga punya masalah serupa.

Kajian Harvard Business Review pada Juni 2017 berjudul “Uber Can’t Be Fixed—It’s Time for Regulators to Shut It Down” mengungkapkan, betapa berbagai negara kesulitan mengatur transportasi berbasis aplikasi. Masih merujuk pada kajian tersebut, transportasi berbasis aplikasi itu disebut menabrak sejumalh aturan seperti tak perlu mengurus izin trayek, tak perlu melakukan uji berkala (kir), tak perlu membuat pelat khusus sebagai transportasi umum, sopirnya tak perlu mendapatkan surat izin mengemudi khusus untuk transportasi umum, serta banyak keuntungan lainnya.

Karena tak memerlukan izin seperti transportasi umum konvensional, transportasi berbasis aplikasi disebut meraup banyak keuntungan. Itu pula yang membuat transportasi berbasis aplikasi bisa menurunkan tarif jasa angkutan, yang jauh lebih rendah ketimbang transportasi umum konvensional.

Kendati demikian, popularitas transportasi justru terus melambung. Secara bisnis, mereka pun bertumbuh. Akan tetapi, keberadaan mereka dan model bisnisnya telah melanggar hukum sejak awal. Karena itu, pemerintah suatu negara termasuk Indonesia membuat aturan terhadap model bisnis transportasi berbasis aplikasi dan mereka agak sulit mematuhinya.

Respons
Merespons fenomena transportasi berbasis aplikasi tersebut, seperti yang dikatakan Sudewo, Kementerian Perhubungan di bawah kepemimpinan Ignatius Jonan waktu itu segera merilis Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Transportasi berbasis aplikasi dilarang karena tak sesuai aturan UU LLAJ.

Baca Juga :   Anggota Komisi VI Ini Dukung Kebijakan WFH untuk ASN Antisipasi Arus Balik Lebaran 2024

Akan tetapi, Presiden Joko Widodo tidak sepakat dengan pendekatan demikian karena menganggap angkutan berbasis aplikasi seperti Ojol dan taksi online dibutuhkan masyarakat sehingga harus ditata. Bukan serta-merta dilarang. Jokowi tak ingin keberadaan sebuah aturan justru membuat masyarakat dirugikan atau menderita. Tujuan utama penataan tersebut mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat dan konsumen.

Menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi itu, Menteri Perhubungan di bawah Budi Karya Sumadi lantas merevisi Permenhub sebelumnya yang melarang transportasi berbasis aplikasi menjadi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Aturan ini menjadi dasar hukum bahwa transportasi berbasis aplikasi harus melewati uji kir secara berkala, wajib memasang stiker dan wajib menyediakan akses digital dashboard. Permenhub baru ini dinilai menjadi solusi untuk semua ketika itu.

Namun, pro dan kontra tentang angkutan online tersebut kembali mengemuka setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan sejumlah pasal dalam Permenhub tersebut. Setidaknya ada 14 pasal yang dibatalkan MA, antara lain berkaitan dengan tarif, surat kendaraan berbadan hukum, dan pelayanan serta lain sebagainya.

MA dalam keputusannya memerintahkan menteri perhubungan untuk segera mencabut serta tidak lagi memberlakukan aturan tersebut karena tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Menyikapi keputusan itu, Kementerian Perhubungan berjanji akan mematuhinya. Karena itu pula muncul Permenhub Nomor PM 118 tahun 2018 tentang penyelenggaraan angkutan sewa khusus dan berlaku efektif sejak 1 Juni 2019.

Baca Juga :   Venteny: Nilai Tambah Venteny Employee Super App Meningkat dengan Kepemilikan Saham 30% di DPI

Sementara itu khusus Ojol, menurut Sudewo, setelah mendengarkan masukan dari pakar dan akademisi serta masyarakat yang peduli terhadap masalah transportasi, bahwa ojek tidak masuk dalam kategori angkutan atau transportasi umum. Dan sejauh ini, legalitas ojek sebagai transportasi umum sama sekali tidak ada kepastian.

“Apalagi belum satu pun aturan yang menjadi payung hukumnya. Akomodasi aksi sopir Ojol selanjutnya dipayungi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019,” ujar Sudewo.

Meski demikian, kata Sudewo, jika dibedah lagi, Permenhub Nomor 12 tahun 2019 itu mengatur tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. Aturan inilah yang masih menjadi acuan untuk operasional ojek di tengah masyarakat walau tak ada poin yang menyebutkan ojek sebagai angkutan umum.

Jalan panjang pengaturan transportasi berbasis aplikasi ini tentu penting menjadi pertimbangan dalam pembahasan revisi UU LLAJ. Tidak hanya soal kemudahan, tapi penting mengutamakan masyarakat sebagai pengguna transportasi berbasis aplikasi dan kemanfaatannya bagi negara. Lantas, akankah Ojol disahkan menjadi angkutan umum kelak?

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics