Politikus Gerindra: Batalkan Permenaker tentang JHT

Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan/Dokumentasi DPR
Iconomics - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Heri Gunawan menyebut pencairan jaminan hari tua (JHT) seharusnya dilakukan saat tidak bekerja lagi. Soalnya JHT merupakan akumulasi dana pekerja/buruh yang dipotong setiap bulan dari upah dengan harapan bisa dimanfaatkan ketika sudah tidak bekerja atau di-PHK.
“Untuk itu, aturan JHT harus dibatalkan. Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dibatalkan. Uang JHT merupakan uang pekerja/buruh, bukan uang negara. Mereka berhak mengambilnya saat sudah tidak bekerja lagi,” kata Heri seperti dikutip situs resmi DPR beberapa waktu lalu.
Berdasarkan Undang Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2004, kata Heri, pada Pasal 35 ayat 2, JHT diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Masa pensiun karena itu tidak dimaknai berusia 56 tahun karena bisa saja sebelum usia tersebut pekerja/buruh sudah tidak bekerja.
Soal itu, kata Heri, sesungguhnya sudah diatur dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Pada Pasal 3 Permenaker tersebut berbunyi manfaat JHT bisa diberikan kepada pekerja/buruh yang sudah tidak bekerja lagi, baik karena mengundurkan diri, terkena PHK, maupun meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
“Pasal 5 dan 6 menyatakan, manfaat JHT bisa dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau PHK. Namun sayangnya, aturan ini diganti menjadi usia 56 tahun oleh Permenaker Nomor 2 Tahun 2022,” kata Heri.
Karena itu, kata Heri, kontroversi tersebut sebaiknya dikembalikan kepada atauran yang lama yang konteksnya lebih tepat menjabarkan aturan UU SJSN. Kehadiran Permenaker yang baru dinilai layaknya siang bolong, kurang sosialiasi dan diumumkan sepihak.
Menurut Heri, wajar saja pada akhirnya mayoritas pekerja/buruh menolaknya. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang berdampak luas di antaranya terjadinya PHK dan pengurangan jam kerja secara besar-besaran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, misalnya, menyebut 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19, baik itu karena di-PHK, dirumahkan, atau dikurangi jam kerjanya. Lalu per Agustus 2021, turun menjadi 21,32 juta.
“Dengan kondisi yang sudah sedemikian susah, para pekerja tidak boleh ditambah lagi kesusahannya. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang meringankan para buruh/pekerja. Apalagi, sebagian besar pekerja saat ini merupakan pegawai outsourcing yang mudah direkrut dan juga mudah diberhentikan. Tidak logis, jika diberhentikan saat berusia 30 tahun harus menunggu hingga 26 tahun untuk memperoleh dananya kembali,” kata Heri.