Kewenangan LPS Diperluas, Darmin Nasution: Perlu Kolaborasi dengan OJK

0
512
Reporter: Petrus Dabu

Pemerintah memperluas kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui penerbitan PP No.33 tahun 2020. Beleid ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada LPS untuk menangani bank yang bermasalah.

Sebelumnya, LPS baru turun tangan menerima penugasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelamatkan bank yang dinyatakan sebagai bank gagal. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan dengan aturan yang baru ini, LPS sudah bisa ikut mengurusi dan mengawasi suatu bank dengan status Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) dan Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK). Sebelumnya, hanya OJK yang berwewenang menangani bank dalam status BDPI dan BDPK.

Darmin mengatakan perluasan kewenangan LPS ini berpotensi menimbulkan benturan dengan OJK. “OJK punya undang-undang yang menyatakan sampai dengan bank ini gagal. Kemudian Perppu No.1 Tahun 2020 diturunkan dalam PP No.33, itu mengatakan bahwa kalau banknya sudah dibawah pengawasan intensif, LPS sudah mulai dilibatkan,” ujarnya.

Untuk menghindari benturan, menurut Darmin “perlu ada kerelaan dari kedua-duanya OJK dan LPS. “Walaupun seperti biasanya masing-masing akan berbicara undang-undang saya bilang begini, dan sebagainya. Tetapi mereka perlu kolaborasi kalau suatu bank sudah mulai BDPI apalagi kalau sudah BDPK. Kalau bank itu sudah BDPK, waktu saya masih di BI, waktu pengawasan bank masih di BI, saya bilang sudah deh siapkan kuburannya, itu akan mati tiga bulan lagi,” ujar Darmin.

Baca Juga :   Badan Supervisi Diharapkan Bisa Perkuat LPS Dalam Pelaksanaan Tugas Pengawasan

Darmin mengatakan saat ini memang ada sejumlah permasalahan dimana ada bank-bank sakit yang diawasi OJK. Menurutnya, keberadaan bank sakit ini berisiko tinggi bagi ketahanan sektor perbankan. Menurutnya, keberadaan bank-bank sakit tersebut bukan karena lemahnya jaring pengaman sektor keuangan di Indonesia selama ini, tetapi lebih karena kelemahan dalam hal implementasi.

“Saya kira itu adalah sesuatu yang sangat berisiko membiarkan bank tetap hidup padahal dia sakit. Bank sakit hidup itu seperti orang kalau berdiri itu hampir kelelep sampai di bibir. Kalau kelelep sampai di bibir tinggal ada gonjangan kecil, kelelep dia,” ujarnya.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian (2015-2019) ini mengatakan secara umum berbagai indikator penting perbankan memang terlihat masih sehat. Rasio kecukupan modal atau Capital adequacy ratio (CAR) misalnya masih berada di sekitar 22% pada Mei lalu. Kemudian rasio kredit bermasalah juga, meski naik dari sekitar 2% menjadi sekitar 3%, tetapi masih di level aman. Pertumbuhan kredit juga, meski melambat dari sekitar 5% menjadi sekitar 3%, tetapi tetap tumbuh positif.

Baca Juga :   KSSK: Stabilitas Sistem Keuangan Triwulan III-2021 Normal

Kalau melihat indikator tersebut, menurut Darmin, ketahanan sektor perbankan masih kuat. “Persoalannya, indikator-indikator tersebut adalah indikator agregatif, dia tidak menggambarkan setiap bank yang ada di dalamnya,” ujar Darmi

 

Leave a reply

Iconomics