Kinerja Terpukul Covid-19, Pertamina Tetap Bangun Kilang

0
905

PT Pertamina (Persero) akan terus melanjutkan pembangunan kilang kendati kinerja keuangan dan operasionalnya terdampak wabah Covid-19. Itu dilakukan karena proyek tersebut sangat strategis untuk memenuhi energi nasional di masa mendatang.

Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang mengatakan, membangun kilang merupaka keharusan dan keniscayaan bagi suatu negara. Sebab, hampir semua negara dengan populasi besar mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri secara mandiri untuk menjamin ketersediaan energi.

“Langkah tersebut tidak bisa ditawar. Bahkan di negara yang tidak menghasilkan crude sekalipun, mereka juga tetap memprioritaskan membangun kilang. Jadi, di negara maju, umumnya mereka untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menggunakan produksi dalam kilang sendiri dan telah zero import,” kata Ignatius dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (6/6).

Singapura, kata Ignatius, dengan penduduk sebanyak 5 juta orang, memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari. Jumlah ini lebih besar dari kapasitas produksi kilang Indonesia yang hanya sekitar 1 juta barel per hari. Ini bisa dipahami karena keberadaan kilang memiliki profitabiltas yang tinggi.

Baca Juga :   Adhi Karya Peroleh Kontrak Baru Rp23,7 Triliun di 2022, Target Selanjutnya Naikkan 15%

“Kami juga telah melakukan kajian dan evaluasi. Hasilnya, membangun kilang akan memberikan nilai tambah atau profitabilitas baik bagi perusahaan maupun negara,” tambah Ignatius.

Tentang arti strategis upgrading kilang eksisting atau Refinery Development Master Plan (RDMP), dan pembangunan kilang baru atau dan Grass Root Refinery (GRR) Pertamina, Ignatius mengatakan, proyek yang digagas sejak 2014 dilatarbelakangi sejumlah persoalan energi yang dihadapi Indonesia.

Untuk memenuhi optimum capacity kilang, crude yang diperlukan tidak cukup dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Sebagian besar crude impor merupakan sour crude dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sementara kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude, yaitu crude yang memiliki kandungan sulfur lebih rendah.

“Karenanya, kilang kita perlu penyesuaian agar lebih mudah dan efisien dalam mengolah crude dalam maupun luar negeri,” kata Ignatius.

Hal tersebut, kata Ignatius, juga berhubungan dengan kondisi kilang Indonesia yang sebagian besar sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas lebih rendah sehingga perlu segera dilakukan modifikasi untuk meningkatkan daya saingnya.

Baca Juga :   Premium Tak Ramah Lingkungan, Bagaimana Upaya Pertamina Menguranginya?

Tantangan lainnya, menyangkut supply and demand. Saat ini Pertamina memiliki 5 kilang yakni Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju dan 1 kilang kecil di Sorong, dengan total produksi BBM sekitar 680 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional sejak 2017 telah mencapai 1,4 juta barel per hari.

“Artinya ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM masih tinggi. Meski sejak Kuartal I/2019 Pertamina sudah berhasil untuk tidak mengimpor solar dan avtur, namun impor untuk produk lain masih diperlukan,” kata Ignatius.

Hal terakhir, kata Ignatius,  Indonesia perlu segera memaksimalkan jumlah produksi BBM dengan spesifikasi lebih tinggi dan lebih ramah lingkungan.

“Kita harus genjot produksi BBM dengan standar yang lebih tinggi yakni Euro 4 dan 5, pararel dengan upaya Pertamina untuk terus mendorong masyarakat menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan seperti pertamax dan pertamax turbo,” katanya.

 

Leave a reply

Iconomics