Aturan Asuransi, Digitalisasi dan Penetrasi Industri

0
722

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut industri asuransi termasuk bisnis yang diatur secara ketat. Setidaknya ada 2 alasan mengapa industri diatur secara katat.

Direktur Pengawas Asuransi OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, alasan pertama industri asuransi diatur secara ketat lantaran bisnis ini mengelola dana masyarat. Karena itu dasar hukumnya harus menggunakan undang undang (UU).

“Ini diatur menggunakan prinsip kehati-hatian oleh OJK. Dalam hal ini aturan yang cukupp ketat untuk melindungi dana masyarakat,” kata Ahmad dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Alasan kedua, kata Ahmad, ada beberapa fasilitas yang dinikmati perusahaan asuransi. Semisal, fasilitas perpajakan sehingga perlu diatur betul aturan bermain di industri asuransi. Salah satunya lewat risk based capital (RBC) atau rasio solvabilitas.

Aturan ini, kata Ahmad, mirip rasio kecukupan modal (CAR) dalam perbankan. Dalam industri asuransi dipakai RBC ketentuan minimumnya 120%. Apabila RBC sebuah perusahaan asuransi kurang dari ketentuan minimum itu, maka OJK akan memberikan peringatan dan merekomendasikan langkah-langkah yang harus ditempuh perusahaan tersebut.

Baca Juga :   Isu Sawit Jadi Kunci Kemitraan Dagang Asean-Uni Eropa

Di masa Covid-19, kata Ahmad, grafik RBC cenderung menurun. Saat ini RBC industru asuransi jiwa berada di level 505%, jauh di atas ketentuan minimum yang ditentukan OJK. Pun demikian dengan RBC asuransi umum yang saat ini berada di level 330%.

“Bila dibandingkan dengan kinerja tahun lalu RBC industri asuransi hampir mencapai 700%. Per Agustus 2020 turun di level 502% secara tahunan. Ini karena nilai aset turun, penerimaan premi turun dan investasi turun. Ini mempengaruhi tingkat kesehatan keuangan perusahaan asuransi,” kata Ahmad.

Lantas, apa yang perlu dilakukan industri asuransi di masa Covid-19 agar tetap tumbuh? Industri asuransi, kata Ahmad, merupakan bisnis kepercayaan dalam jangka panjang. Karena itu, wabah Covid-19 ini harus dilihat sebagai tantangan sehingga perlu kreativitas untuk melihat peluang di masa mendatang.

“Hal lainnya, industri harus kuat dan bisa beradaptasi dengan situasi. Selanjutnya, industri asuransi perlu mengoptimalkan teknologi untuk digitalisasi asuransi. Ini kunci penting di masa Covid-19, ditambah pola kehidupan masyarakat lebih mengandalkan gawai. Peluang ini perlu dikembangkan industri,” kata Ahmad.

Baca Juga :   OJK Dorong Merger BPR, Kali Ini di Cirebon

Menurut Ahmad, angka penetrasi industri asuransi masih relatif kecil dan tidak pernah keluar dari angka 3%. Dengan kata lain, hanya 3% yang menggunakan asuransi dari jumlah populasi. Padahal, kata Ahmad, potensi dengan jumlah penduduk yang besar, penetrasi asuransi seharusnya bisa mencapai 20% dari jumlah penduduk Indonesia.

“Ini tanggung jawab kita semua untuk meningkatkan literasi kepada masyarakat. Merespons perubahan perilaku konsumen semakin terdigital dan asuransi semakin berinovasi, menciptakan produk yang dibutuhkan masyarakat dalam konteks inklusi keuangan. Dan tak kalah pentingnya adalah asuransi harus membangun kepercayaan kepada masyarakat. Jangan persulit masyarakat untuk klaim. Itu saja,” kata Ahmad.

 

 

 

 

 

Leave a reply

Iconomics