Lo Kheng Hong, dari Ikut-ikutan Hingga Jadi Investor Saham Kawakan

0
3452

Berawal dari ikut-ikutan Lo Kheng Hong kini menjadi investor saham kawakan di Indonesia.  Namun, kunci kesuksesananya meraih cuan di pasar modal bukan lagi karena ikut-ikutan, atau membeli ‘kucing dalam karung’ tetapi karena ia mampu menganalisis emiten  bagus tetapi harga sahamnya masih murah. Ia menganalogikannya dengan ‘mobil Mercy yang dijual dengan harga Innova atau Avanza’.

Sekitar 31 tahun lalu, Lo Kheng Hong mulai mengenal pasar modal. Pria kelahiran 20 Februari 1959 ini mengenal pasar modal saat masih bekerja sebagai pegawai bank. Ia mengaku awalnya karena melihat teman sekantornya membeli saham. Saat itu, ia membeli saham seperti membeli ‘kucing dalam karung’ tanpa memahami valuasi perusahaan dan kondisi bisnisnya.

Tak heran, saat pertama kali ‘nyemplung’ di pasar modal, Lo Kheng Hong langsung rugi. “Pertama kali saya beli saham IPO [initial public offering] Gajah Surya Multifinance. Begitu listing harganya anjlok, saya rugi. Yang kedua kali saya beli saham IPO Astra Graphia. Ternyata pas listing harganya turun, saya juga rugi,” cerita Lo mengenang pengalaman awal masuk ke pasar modal, ketika menjadi pembicara dalam ajang Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2020, Sabtu (24/10).

Lo mulai meniti karir sebagai karyawan bank pada tahun 1979. Ia berkisah setamat SMA, tak punya uang untuk melanjutkan kuliah. Karena itu, ia melamar sebagai pegawai tata usaha di sebuah bank dengan gaji Rp27.700.

Baca Juga :   BRI Danareksa Sekuritas Melakukan Edukasi Investasi di Pasar Modal untuk Para Perempuan di Bali

Namun, Lo tetap berusaha untuk meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi. Karena itu sore hari, sepulang kerja, ia kuliah. “Saya kuliah di universitas yang murah, yang satu bulan bayarannya Rp50.000,” ceritanya.

Ia mengatakan kampusnya waktu itu tak punya gedung sendiri untuk kuliah. Karena itu meminjam gedung milik SMA PSKD di Jalan Diponegoro, seberang RSCM. “Kalau siang dipakai untuk gedung sekolah [SMA], kalau malam kosong, disewa oleh universitas dan saya kuliah di sana,” ujarnya mengenang.

Lo bekerja di bank sebagai pegawai tata usaha selama 11 tahun. Ia bercerita selama 11 tahun itu tidak pernah naik pangkat. Karena itu, gajinya pun kecil terus.

Nasib kemudian mulai berubah. Tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Pakto 88 yang mengizinkan bank-bank baru dibuka. Bank-bank baru pun bermunculan dan membutukan tenaga kerja yang banyak. Gaji-gaji pegawai bank pun menjadi mahal.

“Banyak bank-bank baru cari karyawan.  Dan nasabah saya buka bank dan saya diajak. Senang sekali saya bisa mendapatkan bayaran 200% lebih tinggi dari gaji saya sebelumnya,” ujarnya.

Baca Juga :   Luhut: INA Himpun Dana untuk Biayai Infrastruktur di Luar APBN

Itu terjadi sekitar tahun 1990. Di tempat lama gaji Lo masih sekitar Rp350.000. Tetapi di bank yang baru tadi, gajinya naik menjadi Rp1 juta ditambah tunjangan kesehatan sebesar Rp50.000. “Saya senang sekali,” ujarnya.

Mesikipun gajinya sudah naik, namun Lo tidak boros. “Saya hidup hemat. Hidup sederhana. Uang itu bisa saya belikan saham,” ujarnya.

Pasar Modal Penyimpan Harta Karun

Bagi Lo Kheng Hong pasar modal adalah tempat peyimpanan harta karun. Bila ingin menjadi kaya, katanya, bursa efeklah tempatnya.

“Karena Bursa Efek Indonesia menawarkan imbal hasil tertinggi di antara bursa utama dunia bagi investor jangka panjang. Sudah terbukti. Saya bersyukur saya berada di dalamnya,” ujarnya.

Lo mengaku tak menaruh uang di bank dalam bentuk deposito. Karena bunganya kecil, tak jauh berbeda dengan tingkat inflasi.

“Kalau kita taruh uang di bank, sebetulnya kita membuat diri kita miskin secara pelan-pelan karena nilai uang kita semakin hari semakin turun,” ujarnya.

Ia juga tak memilih obligasi sebagai instrumen investasi. Alasannya sama seperti deposito, imbal hasil obligasi tidak besar.

Walaupun emas dianggap sebagai safe haven, tetapi Lo juga tak memilih emas untuk melipagandakan uangnya. Investor saham kawakan Amerika, Warren Buffett, pada tahun 2012 mengatakan “Ketika kami mengambil alih Berkshire harga sahamnya $15 dan saat itu harga jual emas $20 per onz. Harga emas saat ini (tahun 2012) adalah $1.600 dan harga saham Berkshire  $120.000.” Tahun 2019, harga emas $1.250 per onz, sementara harga saham Berkshire $305.000.

Baca Juga :   Penghimpunan Dana Lewat Mekanisme Layanan Urunan Dana Disambut Antusias

Jadi, kata Lo, “jauh lebih menguntungkan membeli saham dibandingkan membeli emas.”

Lo juga tak menyimpan dollar. Karena menurutnya, orang yang memegag dollar umumnya mengharapkan kondisi yang buruk terjadi. Beda dengan orang yang pegang saham yang selalu mengharapkan hal-hal baik terjadi. Misalnya, pandemi lekas berlalu, ekonomi Indonesia kembali menguat, supaya harga-harga saham juga meningkat. Kalau situasi yang buruk terjadi, maka harga saham juga akan turun.

Bagi Lo, diantara instrumen investasi yang ada, saham adalah pilihan yang terbaik (the best choice). Sayangnya menurut dia, 99 dari 100 orang Indonesia masih tidak percaya bahwa ‘saham is the best choice’.

“Masyarakat masih lebih senang menaruh uangnya di bank, masyarakat lebih senang uangnya dibelikan properti daripada dibelikan saham,” ujarnya.

Kenali apa yang dibeli dan beli apa yang dikenali

Meski sempat menjadi orang yang sekedar ikut-ikut dalam membeli saham, tetapi Lo belajar dari kesalahan itu. Kesalahan tak boleh terulang kembali.

Halaman Berikutnya
1 2

Leave a reply

Iconomics