Ada yang Janggal soal Penyitaan Aset JBU dan TRAM karena Bikin Nilai Saham Jadi Nol

0
950

Kuasa hukum PT Jelajah Bahari Utama (JBU) dan Trada Alam Minera Tbk (TRAM) menemukan kejanggalan dalam hal penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung untuk kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Pasalnya, setelah penyidik Kejaksaan Agung menyita aset perusahaan tersebut, nilai saham perseroan malah menjadi nol.

“Dalam konteks aksi bisnis, aset itu dialihkan ke mana? Apakah ditahan itu aset hingga menjadi nol. Kalau aset menjadi nol, rugi dong. Kejaksaan Agung menyita untuk apa jika kemudian setelah melakukan penegakan hukum terhadap Jiwasraya, asetnya sudah nol!” kata Haris Azhar kuasa hukum JBU dan TRAM dalam sebuah diskusi virtual, Senin (9/8).

Yang paling runyam dan membahayakan dari situasi ini, kata Haris, penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung untuk kasus Jiwasraya-Asabri fokus untuk nama yang sama: Benny Tjokrosaputro (PT Hanson International Tbk) dan Heru Hidayat (TRAM) serta beberapa nama lain.

“Faktanya,  ada dana program setting plan-nya karyawan PT PAL Indonesia senilai Rp 220 miliar yang juga turut disita padahal mereka bukan nominee, lalu ratusan aset nasabah Wanaartha Life juga bukan nominee. Lalu ada pengelolaan tambang batu bara di Kutai di bawah bendera PT GBU termasuk aset dan barang operasional, argumentasinya adalah bahwa saham-saham tersebut tidak dimiliki atau nominee terdakwa Heru Hidayat,” kata Haris.

Baca Juga :   Indef: Optimalisasi Pengawasan IKNB, Bukan OJK Dikembalikan ke BI

Menurut Haris, istilah nominee yang dilekatkan kepada pihak, yang kemudian saham atau asetnya atau perusahaannya disita itu ternyata tidak dapat dibuktikan atau dijelaskan di muka pengadilan. Berdasarkan komunikasi dengan sejumlah nasabah dan para pihak yang merupakan pihak ketiga, lantas menimbulkan pertanyaan bahwa hanya penyidik atau Kejaksaan Agung saja yang memilik akses data terkait aset.

“Namun mengapa yang selalu muncul ke media hanya nilai bombastinya dari kerugian negara, sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset milinya yang menjadi sitaan jaksa,” kata Haris.

Saat ini, kata Haris, tidak ada satu pun mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar adalah temuan dari Ombudsman RI, namun itu pun bila hasil temuannya ditindaklanjuti.

Tahun lalu, kata Haris, Ombudsman sudah menyatakan bahwa memang ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Kejaksaan dalam proses penyidikan penanganan kasus Jiwasraya. Berdasarkan temuan tersebut, perlu diketahui bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, tidak asal menyita, merampas dan melelang.

Baca Juga :   Matahukum Akan Laporkan Menpora Dito ke KPK soal Pengamanan Perkara Korupsi BTS 4G di Kejagung

“Ini kan seolah-olah negara nggak punya duit, lalu tiba-tiba diambillah aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata  atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah,” ujarnya.

Karena itu, kata Haris, agaknya menjadi percuma ketika berkampanye soal simbolisasi Omnibus Law untuk mengundang investasi. Pemerintah pada akhirnya omong kosong karena Omnibus Law hanya ingin menunjukkan bahwa penting ada pembangunan ekonomi dan bisnis, tetapi ada modal dari anak bangsa yang justru diberangus oleh para penegak hukum.

“Para penyidik ini tidak bisa menunjukkan korelasi antara pelaku dengan asetnya sehingga menyebar tuduhan bahwa pemiliknya adalah nominee dari terpidana. Agar memudahkan hartanya atau asetnya diambil untuk menutupi kerugian negara yang sebenarnya tidak nyata karena BPK masih menghitung potensi dan bukan riil,” kata Haris.

 

Leave a reply

Iconomics