IAW Minta BPK Audit Produk Bahan Bakar Alternatif Milik Pemprov DKI untuk Pabrik Semen karena Harganya Anjlok
Indonesian Audit Watch (IAW) menuding refused derived fuel (RDF) Plant milik pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang awalnya diperkirakan seharga Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu per ton tidak sesuai dengan kenyataannya. Produk RDF yang merupakan bahan alternatif setara batu bara muda sebagai bahan bakar industri ternyata hanya dihargai Rp 150 ribu per ton.
Soal ini, Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus berpendapat, pihaknya menilai Pemprov DKI Jakarta tidak mumpuni untuk mengantisipasi penurunan harga RDF tersebut. Apalagi dengan dalih bahwa RDF tersebut dalam masa commisioning atau masa uji coba.
“Ini hanya alasan. Soalnya masa uji coba itu ada dalam perencanaan, bukan setelah instalasi jadi atau berproduksi. Seharusnya kalau sudah jadi produk harganya mengikuti pasar yang diperkirakan Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu per ton. Jika pun harganya turun itu pengaruh dari kualitas yang toleransi hanya 2,5% atau maksimal 5% bukan kayak sekarang yang mencapai 50%,” kata Iskandar di Jakarta, Selasa (26/11).
Untuk diketahui, Pemprov DKI Jakarta meresmikan RDF Plant di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat pada Maret 2023. Setelah itu, RDF Plant beroperasi penuh dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemprov DKI Jakarta memastikan uji kualitas hasil produknya sesuai permintaan pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa (Tbk) dan PT Solusi Bangun Indonesia (SBI).
Ketika itu, sampah DKI Jakarta mencapai 7.500 ton hingga 7.800 ton per hari dengan area penampung seluas 21.879.000 meter kubik. DLH Pemprov DKI Jakarta mengklaim RDF memiliki standar kualitas bahan bakar dengan patokan harga Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu per ton yang menjadi tambahan pendapatan daerah per tahun.
Menurut Iskandar, pembangunan RDF Plant TPST Bantargebang dan fasilitas pengolahan sampah landfill mining awalnya direncanakan menelan biaya Ro 1,07 triliun. Sumber pendanaannya berasal dari pinjaman daerah untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai Rp 456 miliar dan APBD DKI Jakarta tahun 2022 senilai Rp 613 miliar.
Berdasarkan fakta itu, kata Iskandar, pihaknya menilai pernyataan Pj Gubernur Heru Budi Hartono yang menyebut harga RDF US$ 24 atau setara Rp 360 ribu per ton pada Juni 2023 bukti ketidakprofesionalan. Dan ini akan menjadi pekerjaan berat bagi Pj Gubernur Teguh Setyabudi.
“Terkait pembiayaan, saya kira perlu ada transparansi dari mana sesungguhnya sumber pendanaan RDF tersebut mulai dari ground breaking pada masa Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Apalagi proyek ini diamini sebagai sesuatu kinerja yang baik,” tambah Iskandar.
Karena itu, kata Iskandar, pihaknya mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit investigasi terkait pendanaan tatakelola sampah di Jakarta. Sebab, gubernurnya sudah bergonta ganti tetapi soal sampah masih terus menyisakan masalah.
Sebagai informasi, Pemprov DKI Jakarta meresmikan RDF Plant di TPST Bantargebang untuk beroperasi penuh bulan Maret 2023. Di masa Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono, selain membangun RDF, Pemprov DKI pun membenahi sejumlah tempat pembuangan sampah (TPS). Surat Pemprov Nomor 435/UD.02.03 ditandatangan Heru kepada DPRD DKI Jakarta mengajukan permohonan pinjaman daerah ke PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) senilai Rp 1 triliun. Ketika itu, terjadi perbedaan pendapat antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD soal sumber pendanaan.
RDF Plant disebut menghasilkan beberapa jenis olahan sampah, mulai dari briket, serbuk halus serupa batu bara dan flav. Pemprov DKI Jakarta juga menyebut hasil penjualan RDF menjadi sumber pendapatan baru dari olah sampah.
Teknologi RDF disebut di TPST Bantargebang mampu mengolah sekitar 1.000 ton sampah lama dan 1.000 ton sampah baru yang menghasilkan sekitar 700 ton hingga 750 ton bahan bakar. Nilai kalori RDF dikatakan setara batu bara muda menjadi bahan bakar alternatif.