Menteri Keuangan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III-2021 Hanya 4,3%

1
567

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2021 hanya 4,3% lebih rendah dari kuartal kedua lalu yang sebesar 7,07%.

Meski hanya 4,3%,  capaian tersebut terbilang bagus mengingat pada kuartal ketiga ekonomi Indonesia mengalami tekanan yang berat akibat varian delta Covid-19.

“Outlook dari pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga kita membaik menjadi 4,3%. Memang dibanding kuartal kedua menurun, tetapi kalau dilihat kuartal ketiga kita mengalami delta varian yang begitu sangat tinggi. Itu yang menyabkan adanya koreksi terhadap pemulihan ekonomi kita di kuartal ketiga. Namun koreksinya, kita lihat tidak akan terlalu dalam, artinya masih bertahan di 4,3%,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (25/10).

Untuk pertumbuhan keseluruhan tahun ini, Sri Mulyani mengatakan diperkirakan berada di level 4,0%.

“Kinerja untuk kuartal keempat tetap akan berpotensi rebound namun mungkin lebih normal dan tentu rebalancing dari berbagai kegiatan ekonomi seperti di Tiongkok dan kemudian di Amerika Serikat dan Eropa akan mempengaruhi outlook di kuartal keempat dan terutama di tahun depan,” ujarnya.

Baca Juga :   Analis DBS: Menkeu Baru, Reformasi Fiskal Tetap Jadi Prioritas

Sri Mulyani mengatakan meski Indonesia mampu menghadpai varian delta Covid-19, tetapi tantangan perekonomian global belum mereda. Imbal hasil US Treasury Bond 10 tahun mengalami kenaikan pada Agustus, dimana pada awal tahun sudah naik dari 1,06% menjadi 1,6% hanya dalam waktu dua bulan.

Kenaikan imbal hasil US Treasury Bond ini, tambah Sri Mulyan akan mepengaruhi aliran modal (capital flow) ke pasar negara berkembang (emerging market). Pada September 2021 lalu, capital outflow dari SBN mencapai Rp18,7 triliun dan kemudian berkurang pada Oktober ini yaitu sebesar Rp2,6 triliun.

“Tetapi tekanan akibat adanya kenaikan yield dan kemungkinan terjadinya tapering di Amerika Serikat sudah mulai kita rasakan,” ujarnya.

Sri Mulyani menambahkan, meskipun dengan tekanan seperti itu, kinerja Surat Utang Negara Indoensia dengan jangka waktu yang sama 10 tahun, baik yang berdenominasi Dollar AS maupun Rupiah, masih mengalami perbaikan.

“Kita tidak mengalami pemburukan seperti US Treasury 10 tahun. Kalau kita bandingkan antara US Treasury 10 tahun dalam denominasi Dollar dengan Rupiah 10 tahun, kita lihat spread diantara keduanya makin mengecil. Ini menggambarkan bahwa SBN Indonesia bahkan yang denominasinya Rupiah memiliki kinerja yang kuat, karena didukung oleh kinerja APBN dan kredibilitas policy-nya,” ujarnya.

Baca Juga :   5 Alasan Amar Bank Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh

Dibandingkan negara-negara emerging market yang lain, untuk imbal hasil government bond 5 tahun, kata Sri Mulyani, untuk Indonesia imbal hasilnya justru mengalami penurunan 3,1%. Sementara, negara-negara emerging lain justru mengalami kenaikan imbal hasil yang sangat tinggi, yaitu Thailand, Meksiko, Filipina, Malayasia, Rusia dan India.

“Semuanya yield mereka justru mengalami kenaikan dobel digit bahkan Thailand mengalami kenaiakan 128%. Ini menggambarkan bahwa Indonesia cukup resilience dan reputasi kita secara global, baik dari Surat Utang Negara maupun dari kredibilitas makro policy, terutama fiskal, mampu menciptakan positioning dari SBN kita yang sangat baik,” ujarnya.

Bila di pasar SBN ada outflow, Sri Mulyani mengatakan, di pasar saham justru terjadi sebaliknya. Pada September lalu, ada capital inflow sebesar Rp 4,3 triliun di pasar saham dan meningkat lagi ke Rp9,9 triliun pada Oktober 2021 ini.

 

1 comment

Leave a reply

Iconomics