Trend Asia Nilai Mundurnya AS Perjanjian Paris Hambat Transisi Energi Global, Ini Alasannya

Ilustrasi
Trend Asia menilai mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris berisiko menghambat transisi energi dunia, dalam hal memerangi krisis iklim global. Langkah AS itu akan menghambat pendanaan internasional karena berkurangnya komitmennya dalam membantu negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut juru kampanye energi fosil Trend Asia Novita Indri menilai
Novita, komitmen itu di antaranya tertuang dalam kesepakatan just energy transition partnership (JETP). Karena itu, Perjanjian Paris seharusnya dipandang bukan hanya sebagai janji di atas kertas berisikan bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi.
“Tapi perjanjian tersebut adalah sebuah komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah di depan mata,” kata Novita dalam keterangan resminya pada Selasa (4/2),
Meski demikian, kata Novita, mundurnya AS dari perjanjian itu akan membuka peluang untuk kepemimpinan alternatif yang sifatnya lebih kolaboratif. Itu sebabnya, perlu dipertimbangkan skema kerja sama yang adil dengan negara-negara lain untuk mencapai target Perjanjian Paris.
Berdasarkan analisis World Resources Institute (WRI) pada 2023, kata Novita, menunjukkan 3 negara penghasil emisi terbanyak. ketiga negara itu yakni Tiongkok, Amerika Serikat, dan India, yang berkontribusi sekitar 42,6% dari total emisi global.
“Sedari awal, pendanaan JETP memang buram terkait realisasinya. Ia cuma pengemasan ulang dari komitmen lama dan didominasi oleh skema utang yang berpotensi membebani Indonesia,” ujar Novita.
Di lain sisi, lanjut Novita, pihaknya menyayangkan pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyebutkan Indonesia tidak perlu terburu-buru dalam melakukan transisi, dan terjebak dalam Perjanjian Paris, di tengah mundurnya AS. Pernyataan itu disampaikan oleh Bahlil dalam suatu forum ekonomi pada akhir Januari 2025 yang lalu.
“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversial langkah Trump di mata dunia internasional. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi karena kita rentan pada krisis iklim,” ujar Novita.
Ditambah lagi, kata Novita, sebagai negara beriklim tropis Indonesia memiliki korelasi erat dengan dampak krisis iklim. Dari pantauan porta data bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 1-31 Januari 2025, jumlah bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah banjir dengan 165 kejadian. Kemudian, cuaca ekstrim 13 kejadian, dan tanah longsor 18 kejadian.
Karena itu, kata Novita, Indonesia harus serius dalam menghadapi krisis iklim. Negara perlu memaksimalkan potensi penerimaan dari pungutan produksi batu bara dalam negeri. Berdasarkan catatan yang dimiliki, Novita menyebutkan, produksi batu bara pada tahun 2024 lebih dari 833 juta ton, dan diprediksi akan melebihi 900 juta ton ke depannya.
“Menurut Sustain (Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia), potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batu bara dari korporasi yang selama ini terus mendapatkan super normal profit dapat mencapai US$ 23,58 miliar per tahunnya. Ini saja sudah lebih besar dari komitmen JETP,” tuturnya.