Direksi Perusahaan BUMN yang Sedang atau Sudah Tidak Menjabat Dinilai Terancam Hukum di Indonesia

0
105
Reporter: Rommy Yudhistira

Setiap direksi perusahaan BUMN baik yang sedang menjabat maupun yang sudah tidak menjabat dinilai tidak terlepas dari adanya risiko hukum. Adanya kerancuan hukum di Indonesia dinilai dapat menjerat para direksi di perusahaan BUMN.

Bahkan, kata mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines periode 2002-2008 Hotasi D. P. Nababan, dengan konstruksi hukum saat ini, bisa saja mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati tersangkut kasus hukum.

“Bu Nicke (Dirut Pertamina) baru diganti Pak Simon (Aloysius Mantiri) tunggu saja, apakah akan terjadi hal yang sama seperti Karen (Agustiawan). Kita tidak mengharapkan. Tapi konstruksi hukum yang ada sekarang, ya bisa. Sangat bisa,” kata Hotasi dalam Diskusi Membangun Negeri bertajuk Membangung Masa Depan BUMN: Strategi M&A dan Reformasi Hukum untuk Pertumbuhan di Gedung Wahjudi Prakarsa, Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (7/11).

Dengan sistem hukum saat ini, kata Hotasi, membuat para pejabat tinggi baik di Kementerian BUMN maupun direksi perusahaan BUMN mempertahankan posisinya selama mungkin. “Makanya menteri BUMN, atau direksi BUMN sepanjang mungkin, selama mungkin mempertahankan (jabatan), kalau tidak, begitu tidak risiko jadinya akan dikriminalisasikan. 100% saya katakan ada risiko,” ujar Hotasi.

Baca Juga :   Brantas Abipraya Telah Selesaikan Proyek SPAM yang Menyuplai Air Bersih di Sumut

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007 Amien Sunaryadi mengatakan, legal environment hukum di Indonesia membuat sesuatu keputusan yang diambil jajaran direksi memiliki risiko hukum yang besar. Semisal, kasus hukum yang dialami eks Dirut Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan yang divonis 9 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di Pertamina.

Terkait kasus itu, kata Amien, pihaknya melihat ada perbedaan pandangan pada penuntut umum, hakim di tingkat pertama, dan Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan putusan tingkat pertama, Karen dinyatakan terbukti melakukan perbuatan hukum sesuai dengan yang didakwakan penuntut umum.

Namun, kata Amien, MA justru menganggap perbuatan yang dilakukan Karen bukan merupakan suatu tindak pidana. “Saya melihatnya begini, kalau begitu kalau menurut MA ini bukan tindak pidana, berarti sejak awal penyidiknya tidak bisa membedakan mana tindak pidana, mana bukan tindak pidana. Penuntut umumnya juga tidak bisa membedakan. Hakim di tingkat pertama hakim pengadilan mungkin bisa membedakan, mungkin tidak bisa membedakan,” ujar Amien.

Baca Juga :   Len Industri Bangun Sistem Persinyalan Kereta Api 2 Jalur Kereta Api di Trans Sulawesi

Dalam pertimbangan pada putusan MA 121 K/Pid.Sus/2020 Tanggal 9 maret 2020, kata Amien, apa yang dilakukan terdakwa dan jajaran direksi lainnya semata-mata dalam rangka mengembangkan Pertamina. Dalam hal ini berupaya menambah cadangan minyak dan gas bumi (migas), sehingga langkah-langkah yang dilakukan terdakwa selaku dirut Pertamina dan komisaris Pertamina Hulu Energi tidak keluar dari ranah business judgement rule (BJR).

“Ditandai tiadanya unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja,” ujar Amien.

Atas dasar tersebut, kata Amien, seharusnya setiap direksi yang memenuhi unsur tidak melakukan kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja, tidak dapat dipidanakan. “Jadi kalau poin ini bisa dipegang kita sebagai manajemen (perusahaan BUMN) memegang ini, kita pasti aman. Menurut saya, tapi menurut penegak hukum belum tentu. Setelah saya pelajari, yang bermasalah ini bukan BUMN, bukan manajemen sistem, tapi legal environment-nya,” kata Amien.

 

Leave a reply

Iconomics