Jamkeswatch Tolak Pemberlakuan KRIS untuk Peserta BPJS Kesehatan
Pemberlakukan pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) menuai polemik sejak diterbitkannya Peraturan presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Polemik itu pun mendapat tanggapan sayap organisasi buruh Jamkeswatch dan menolak pemberlakuan KRIS di rumah sakit untuk peserta BPJS Kesehatan. .
Direktur Eksekutif Jamkeswatch Daryus mengatakan, pemerintah seharusnya memahami masih banyak peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang masih kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Di sisi lain, pelaksanaan JKN pun masih karut marut.
“Bagaimana mungkin pemerintah menerapkan pembatasan kamar rawat inap di rumah sakit milik pemerintah hanya sebesar 60% dan rumah sakit swasta 40%, sedangkan saat ini saja untuk mendapatkan kamar rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta peserta JKN KIS masih sangat sulit, karena keterbatasan fasilitas kamar rawat inap,” kata Daryus dalam keterangannya pada Kamis (30/5).
Pembatasan kamar rawat inap untuk pasien BPJS Kesehatan, kata Daryus, berpotensi menimbulkan transaksi bisnis oleh rumah sakit kepada pasien. Penawaran transaksi bisnis diduga bisa dalam bentuk top up biaya untuk mendapatkan fasilitas rawat inap untuk peserta BPJS yang tidak mendapatkan kamar.
“Sikap Jamkeswatch sebagai pengawas jaminan kesehatan tegas menolak pemberlakuan KRIS, jika perlu akan mengerahkan aksi besar bersama seluruh pekerja, masyarakat, dan mahasiswa, apabila pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan KRIS,” kata Daryus.
Seperti Daryus, Sekretaris Eksekutif Jamkeswatch Abdul Gofur pun khawatir penerapan 1 kelas KRIS akan merugikan pekerja yang selama ini tertib membayar iuran 5% dari upah. Ketika sakit, pekerja tersebut justru kesulitan mendapatkan kamar karena keterbatasan ruang rawat inap di rumah sakit.
Pada akhirnya, kata Gofur, pekerja dan perusahaan akan memilih bekerja sama dengan pihak asuransi swasta untuk mendapatkan pelayanan di luar kelas rawat inap standar BPJS. Dan itu hanya akan menguntungkan pihak asuransi swasta.
“Adil itu bukan sama rata, tetapi proporsional sesuai dengan asas pendirian BPJS di awal, yaitu gotong royong, sesuai kemampuan dan saling menopang, yang mampu membayar lebih untuk menutupi biaya masyarakat yang tidak mampu dengan iuran yang terjangkau,” kata Gofur.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan M. Syahril mengatakan, KRIS hadir untuk tidak membeda-bedakan perlakuan layanan non-medis dan medis yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan. Meski mengatur mengenai jumlah pasien dalam setiap kamar yang ditempati, KRIS tetap menjalankan beberapa aturan yang sudah ada sebelumnya.
Perpres terbaru, kata Syahril, tidak akan menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3, yang saat ini berlaku untuk pelayanan rawat inap BPJS. Perpres 59/2024 hanya mengatur mengenai seluruh kamar untuk peserta program jaminan kesehatan nasional (JKN) akan dibuat standar sesuai dengan 12 kriteria standar KRIS.
“Perbaikan yang nyata dan lebih baik, memang kamar yang maksimal 4 (kelas 3) tadi tentu saja antara laki-laki dan perempuan tetap terpisah, anak-anak dan dewasa terpisah, dan ada ruang infeksi yang khusus. Jadi nanti kalau ada penyakit yang terinfeksi itu tidak boleh masuk KRIS tadi, harus di ruang infeksi yang memang sudah diatur. Nanti ketentuannya akan diatur dalam Permenkes,” kata Syahril.