Produsen Garam Madura Kesulitan Akses dan Garap Lahan Milik Perusahaan Negara
Produsen garam di Madura mengaku sulit mendapatkan akses dalam menggarap lahan PT Garam (Persero). Perusahaan milik BUMN tersebut dinilai pilih kasih dalam memberikan izin penguasaan lahan tambak garam.
Ketua Koperasi Produsen Taman Garam Aufa Marom mengatakan, lahan milik PT Garam hanya dikuasai 1 atau 2 orang. Padahal di wilayah Madura banyak lahan yang terbengkalai dan belum digarap secara penuh.
Apabila diberi kesempatan untuk menggarap lahan tersebut, kata Aufa, pihaknya bersedia menjual produksi garam ke perusahaan milik negara itu. Di sisi lain, PT Garam cenderung tertutup untuk membuka akses bagi para petani lokal yang ingin menggarap lahan yang tidak dimanfaatkan.
“Tidak ada, memang di PT Garam itu semuanya tertutup. Saya sudah 2 kali demo di kantor yang di Surabaya. Terakhir juga saya sudah konsul ke DPR, cuma mutar-mutar. Disuruh tanya ke kepala desanya, kepala desa juga menunjuk itu urusannya PT Garam. Jadi lempar-lempar terus,” kata Aufa kepada wartawan The Iconomics Kamis (30/5),
Para produsen yang diberikan kesempatan untuk menggunakan lahan milik PT Garam, kata Aufa, tidak sepenuhnya menjual produk yang dihasilkan kepada BUMN itu. Berdasarkan informasi yang diperoleh Aufa, garam yang dihasilkan justru dijual ke pabrik swasta besar.
“Makanya alasan PT Garam selalu kurang terus, makanya mau kurang bagaimana, garamnya kalau dijual ke luar. Ke pabrik swasta. Kalau indikasi monopoli perdagangan sih tidak. Kemarin saya sempat konsul ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” kata Aufa.
Karena itu, kata Aufa, pihaknya meminta PT Garam untuk berlaku adil dan memberikan kesempatan bagi para petani lokal. Apalagi para petani lokal juga turut mengirimkan produksi garamnya ke perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, kesulitan lahan membuat jumlah produksi dan kualitas garam yang dihasilkan tidak lebih baik dari para penguasa lahan.
“Tentunya dari segi kuantitas dan kualitas kita kalah jauh. Ayolah (biarkan) kita bisa menggarap itu (lahan). Ini daerah-daerah kita masa kita tidak punya dampak. Hanya orang-orang itu saja punya dampak,” tambah Aufa.
Di samping itu, kata Aufa, akibat dari sulitnya mendapatkan lahan, regenerasi petani garam mulai ditemui akhir-akhir ini. Aufa mencatat hampir 80% petani garam saat ini berusia lebih dari 50 tahun.
Untuk itu, kata Aufa, pihaknya berharap pemerintah dan para pihak terkait bisa memikirkan hal ini, agar para pemuda setempat dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimiliki daerah asalnya.
“Yang muda-muda itu kalau di Madura lebih memilih kerja di luar negeri menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia), padahal prospek secara sumber daya alam kita mumpuni. Cuma kita kurang akses saja di situ. Paling tidak bisa membantu semangat muda-muda di sini untuk bisa bergerak menjadi petani garam,” katanya.