Pemerintah Bentang Karpet Merah untuk Starlink, Kedigdayaan Telkom di Ujung Tanduk
Karpet merah yang dibentangkan Pemerintah Indonesia terhadap Starlink – layanan internet satelit milik Elon Musk – memang bakal membuka akses internet yang lebih luas dan berkulitas untuk wilayah-wilayah terpencil di Indonesia.
Tetapi di sisi lain, bila kompetisi bebas dibuka, maka kehadiran Starlink ini menjadi ancaman yang mengakhiri kedigdayaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau Telkom (TLKM) dalam bisnis telekomunikasi.
Bisnis perusahaan yang 52% sahamnya milik negara itu, diperkirakan akan tergerus, terlebih bila biaya layanan Starlink akan turun di masa yang akan datang.
Setidaknya ada dua layanan Starlink yang bisa membunuh bisnis Telkom. Pertama, layanan internet berbasis satelit. Dengan menggunakan satelit berorbit rendah atau Low Earth Orbit (LEO) – ketinggian sekitar 500 kilometer dari bumi – layanan internet Starlink memiliki kualitas yang sama dengan layanan internet jaringan terestrial seperti fiber optik yang digunakan IndiHome milik Telkom.
Layanan kedua yang kini sedang dikembangkan oleh Starlink adalah layanan yang langsung terhubung dengan telepon seluler atau Direct to Cell.
Saat ini, layanan Direct to Cell memang masih digunakan untuk pengiriman data rendah seperti pengiriman pesan singkat. Tetapi, menilik perkembangan teknologi Starlink, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, layanan tersebut bisa digunakan untuk penggunaan lainnya seperti mengakses YouTube, dan lainnya.
Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkom Indonesia, dalam Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (30/5) mengatakan sebagai sebuah negara kepulauan, menggelar infrastruktur telekomunikasi ke seluruh pelosok Indonesia memang membutuhkan biaya yang mahal.
Karena itu, solusi layanan telekomunikasi berbasis satelit adalah salah satu pilihan.
“ Jadi, Starlink itu memang menjadi salah satu pilihan untuk daerah yang lebih remote,” ujarnya.
Telkom pun melalui Telkomsat sejak 2022 sudah menjalin kerja sama dengan Starlink untuk layanan internet berbasis satelit.
Tetapi kerja sama tersebut hanya untuk jaringan penghubung atau backhaul yaitu layanan yang menghubungkan titik-titik yang sulit dijangkau serat optik.
“Untuk daerah-daerah terpencil yang enggak terjangkau oleh fiber optik maupun mikrowave itu kita pakainya satelit,” ujarnya.
Sebelum kerja sama dengan Starlink, Telkom menggunakan satelit geostasioner. Karena mengorbit pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer dari permukaan bumi, kualitas internet satelit geostasioner kurang bagus karena memiliki latensi yang lebih lama.
Karena itu, sejak 2022 beberapa BTS Telkom pun menggunakan satelit berorbit rendah atau Low Earth Orbit (LEO) milik Starlink yang memiliki ketinggian orbit sekitar 500 kilometer.
“Jadi, secara kualitas lebih bagus. Memang harganya lebih mahal. Tetapi karena kualitas lebih bagus yaitu latensinya rendah, kinerja di BTS itu meningkat. Konsumi data yang dipakai pelanggan Telkomsel di daerah itu meningkat,” ujar Ririek.
Masalahnya, kata Ririek, Starlink tidak mau bekerja sama dengan Telkom untuk layanan langsung ke konsumen yaitu untuk layanan inertent rumah yang kini mulai dipasarkan oleh Starlink di Indonesia melalui mitra lokalnya.
“Khusus yang B-to-C (Business to consumer) kita sudah lama minta ke Starlink untuk kerja sama dengan kita. Tetapi mereka tetap enggak mau,” ujar Ririek.
Kantor Starlink di Australia – yang bekerja sama dengan Telkomsat – kata Ririek beralasan, tidak bisa kerja sama untuk layanan B-to-C karena sesuai dengan kebijakan dari kantor pusat di Amerika.
“Alasannya selalu itu policy dari kantor pusat,” ujarnya.
Bisnis Telkom akan Terugerus
Ririek mengakui layanan internet satelit yang dipasarkan secara langsung oleh Starlink ke konsumen di Indonesia akan berdampak pada bisnis Telkom. Demikian juga nanti bila layan direct to cell berkembang masif juga bakal menguncang bisnis seluler Telkomsel.
“Ini saya omong apa adanya. Peluang itu ada [bisnis tergerus]. Tetapi keyakinan saya pribadi, tetap masih ada area dimana kita bisa hidup. Tetapi bahwa bisnisnya tergerus itu pastilah,” ujar Ririek.
Kondisi ini terjadi, tambah dia, apabila harga yang ditawarkan oleh Starlink semakin kompetitif bahkan lebih rendah dari layanan IndiHome dan Telkomsel.
Memang saat ini, dengan harga perangkat Starlink sebesar Rp7 juta hingga Rp8 juta, serta biaya bulanan sebesar Rp750 ribu, dampak ke Telkom tidak besar.
Ririek mengatakan dengan harga layanan saat ini, pasar untuk Starlink memang ada, tetapi relatif kecil karena harganya mahal.
“Akan berbeda kalau nanti harga layanan Starlink diturunkan,” ujar Ririek.
Penurunan harga itu bukan tak mungkin. Ririek mengatakan, di beberapa negara harga layanan Starlink ini sudah menurun.
“Kasus di beberapa negara yang saya dengar, katanya mereka menurunkan harga itu. Kalau menurunkan maka dampaknya akan lebih besar [ke bisnis Telkom],” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Wholesale & International Service Telkom Indonesia, Bogi Witjaksono mengatakan layanan Starlink berkembang begitu cepat.
Tahun 2022, saat Telkomsat menjalin kerja sama dengan Starlink, layanan yang tersedia baru untuk layanan backhaul yaitu layanan pendukung bagi operator-operator telekomunikasi.
“Kemudian di tahun 2024 ini Starlink langsung berhubungan langsung dengan masyarakat tanpa melalui kami dan proses berlangganan dari masyarakat ke Starlink itu melalui media internet. Jadi langsung subscribe di portal Starlink,” ujar Bogi .
“Dalam konteks layanan langsung ke pelanggan, mungkin memang kami perlu negara hadir. Karena kami secara teknologi di sini tidak bisa membendung ini. Kemudian layanan satelit LEO ini tidak hanya Starlink, tetapi dalam waktu dekat akan banyak sekali satelit LEO masuk ke negara kita,” ujar Bogi.
Sementara itu, Ririek mengatakan, Telkom membutuhkan dukungan negara. Starlink, kata dia, harus beroperasi sesuai aturan yang selama ini diterapkan ke perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
“Harus setara dengan pemain yang lain, termasuk juga kewajiban finansial, apakah itu membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP), universal service obligation (USO), pajak dan sebagainya,” ujar Ririek.
Kemudian, tambah Ririek, Starlink juga diwajibkan untuk kerja sama dengan perusahaan lokal. Tidak sekadar mendirikan perusahaan lokal, tetapi menggandeng mitra lokal dalam hal ini operator lokal.
“Yang paling ideal Starlink dan perusahaan sejenis lainnya nanti, harus dibuat co-exist. Hidup bareng, jangan saling membunuh,” ujar Ririek.