Kasus Korupsi BTS 4G, Praktisi IT Ini Ungkap Peran Bakti Kominfo dan Operator Seluler
Kasus korupsi BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) masih terus berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DKI Jakarta. Khusus untuk mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, terakhir majelis hakim menolak nota keberatannya karena dinilai sudah masuk ke pokok perkara.
Karena itu, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri meminta jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan saksi-saksi dalam agenda sidang pemeriksaan pada 25 Juli mendatang.
Dalam nota keberatannya, Johnny Plate mengungkapkan, pihaknya sama sekali tidak berniat untuk korupsi dalam proyek BTS 4G Bakti sebagaimana yang dituduhkan JPU dalam dakwaannya. Johnny bersama-sama dengan mantan Direktur Utama Bakti Anang Achmad Latif dan mantan Direktur Utama PT Moratelindo Tbk Galumbang Menak Simanjuntak dinatasikan sebagai dalang dari korupsi proyek BTS 4G Bakti.
Ditambah lagi, surat dakwaan itu menuduh Johnny-lah yang berinisiatif meningkatkan target pembangunan jumlah BTS 4G hingga mencapai 7.904 dalam periode 2021 – 2022. Juga dituduh tanpa kajian. Padahal, apa yang dilakukan Johnny sebagai Menkominfo waktu itu sebagai bentuk pelaksanaan arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam rapat terbatas kabinet dan rapat internal kabinet sejak 2020.
Diketahui pula, berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) Johnny per Mei 2023, jumlah BTS 4G yang akan dibangun itu merupakan laporan dari Anang sebagai Dirut Bakti Kominfo. Ketika itu, Anang melaporkan kepada Johnny bahwa masih terdapat 12.548 desa/kelurahan yang blank spot (belum ada sinyal). Dari jumlah itu, 9.113 desa/kelurahan berada di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dan 3.435 desa/kelurahan di wilayah non-3T atau wilayah komersial yang menjadi wilayah kerja operator seluler.
“Dari 9.113 itu, baru tersedia 1.209 BTS yang melayani 1.209 desa dan masih perlu dibangun sebanyak 7.904 BTS untuk 7.904 desa/kelurahan (1 desa dilayani dengan 1 BTS) di wilayah 3T,” kata Johnny sebagaimana dalam BAP-nya yang dimiliki wartawan theiconomics.com.
Soal kasus BTS 4G ini, praktisi teknologi dan informasi (IT) Renyald YP berpendapat, terlepas dari dakwaan JPU terhadap para terdakwa, proyek tersebut dibangun oleh 2 pihak yakni pemerintah dan operator seluler. Pemerintah lewat Bakti membangun menaranya tanpa memasukkan sinyal.
“Sementara urusan sinyal menjadi tanggung jawab operator seluler,” tutur Renyald melalui aplikasi perpesanan Whatsapp beberap waktu lalu.
Pihak operator seluler, kata Renyald, juga membangun BTS 4G sekaligus memasukkan sinyal. Meski merupakan program pemerintah untuk mempercepat transformasi digital, pihak operator seluler memilih dan membangun di titik-titik blank spot di wilayah non-3T yang secara komersial menguntungkan.
Itu sebabnya, kata Renyald, operator seluler akan mendahulukan pemasangan sinyal di BTS 4G yang mereka bangun di wilayah non-3T. Setelah itu, baru memasang sinyal di BTS 4G yang dibangun Bakti Kominfo. Biaya untuk membangun dan memasukkan sinyal di BTS 4G di wilayah 3T mahal, sehingga operator seluler berpotensi rugi. Ini menjadi salah satu sebab mengapa ada sebagian BTS 4G yang dibangun Bakti sudah berdiri tapi belum ada sinyal.
“Masyarakat awam menyebutnya mangkrak. Padahal bukan mangkrak tapi karena sinyalnya lemah, maka itu menjadi urusan operator seluler menaikkan bandwidth atau kapasitas jaringan internetnya. Kalau untung, operator seluler akan naikkan (bandwidth), kalau tidak, akan tetap seperti itu. Ini menjadi PR pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya jika ingin proyek BTS 4G ini sesuai target dan bermanfaat untuk masyarakat,” kata Renyald.
Renyald juga menyoroti hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menemukan kerugian negara dalam proyek BTS 4G Bakti mencapai Rp 8,032 triliun. Sebagaimana dalam dakwaan Johnny, proyek BTS 4G paket 1,2,3,4 dan 5 merupakan kontrak payung yang berlangsung hingga 2026.
Karena itu, kata Renyald, proyek pembangunan BTS 4G tentu saja belum rampung karena masih berjalan. Namun, sebagaimana audit BPKP, proyek tersebut sudah divonis rugi yang seharusnya dihitung setelah pekerjaan selesai atau tutup buku.
“Kalau (proyeknya) masih berjalan bagaimana kita menghitung untung-ruginya. Bisa dihitung tapi masih bersifat potensial loss. Sementara kan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian keuangan/perekonomian negara bersifat nyata,” kata Renyald.
Kronologis
Kasus ini bermula dari penyediaan BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5. Seluruhnya berada di wilayah 3T Indonesia yang meliputi di Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Tahun 2021, Bakti punya komitmen membangun 7.904 BTS 4G di wilayah 3T tersebut. Pembangunan dibagi dalam 2 fase selama 2 tahun yaitu 2021 sebanyak 4.200 desa dan sisanya baru pada tahun berikutnya.
Bakti bekerja sama dengan penyedia jaringan terpilih menandatangani kontrak payung yang awalnya dengan ditandatangani Bakti dengan Fiberhome, Telkom Infra dan Multitrans Data yang sepakat membangun BTS 4G di paket 1 dan 2 dengan total nilai Rp 9,5 triliun selama 2021-2022.
Dalam kasus ini, Johnny Plate didakwa Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.