Pemeriksaan Eks Mendag Lutfi dan Sejumlah Pertanyaan Dalam Kasus Korupsi Migor

Mantan Menteri Perdagangan M. Lutfi keluar dari Gedung Bundar, Kejaksaan Agung/Istimewa
Mantan Menteri Perdagangan M. Lutfi memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk diperiksa sebagai saksi korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada periode Januari hingga Maret 2022. Tiba di Kejagung pada Rabu (9/8) pagi ini, Lutfi tampak menenteng tas berwarna hitam.
Dalam kesempatan itu, Lutfi sama sekali tidak memberikan keterangan. Ia hanya melambaikan tangannya kepada wartawan yang sudah menungguinya sejak pagi sambil memasuki Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
Pada pertengahan tahun lalu, Lutfi yang kala itu sudah lengser dari Menteri Perdagangan juga pernah diperiksa sebagai saksi untuk perkara tersebut. Pemeriksaan terhadap Lutfi berlangsung 12 jam lamanya. Wartawan yang setia menunggui harus kecewa dengan jawaban singkat Lutfi.
Ketika itu, Lutfi mengatakan, pihaknya telah menjalankan kewajiban sebagai warga negara. “Saya datang tepat waktu, tepat hari, saya menjawab dengan sebenar-benarnya,” kata Lutfi ketika itu.
Menurut Lutfi, pemeriksaan yang memakan waktu hampir 12 jam itu seharusnya sudah cukup. Karena itu, pemeriksaan atas dirinya mungkin saja tetap ada tergantung relevansi pemeriksaan saksi selanjutnya.
“Apa nanti masih relevan untuk dimintai keterangan lagi,” ujar Lutfi.
Kendati kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya itu sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap, tapi masih saja menyisakan sejumlah pertanyaan. Mengapa? Pertama, kebijakan pemberian fasilitas ekspor kepada perusahaan eksportir CPO diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan No. 129 Tahun 2022 jo No. 170 Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Kebutuhan Dalam Negeri (DMO) dan Harga Penjualan di Dalam Negeri (DPO). Dengan kata lain, eksportir akan mendapatkan fasilitas ekspor apabila sudah memenuhi kuota DMO 20%.
Soal DMO ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Edy Priyono, misalnya, pada Maret 2022 mengatakan, sebenarnya dengan batas DMO 20% secara hitungan di atas kertas sudah bisa mencukupi kebutuhan bahan baku dalam negeri. Merujuk data data Kementerian Perdagangan terkait setoran DMO periode 14 Februari hingga 8 Maret 2022, CPO mencapai 573.890 ton.
Dari jumlah itu, yang sudah terdistribusi mencapai 415.787 ton atau setara dengan 72,4% dari total DMO. Berdasarkan data tersebut, maka sebenarnya sudah mencukupi karena kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 320 ribu lebih ton per bulan.
Pertanyaan
Dengan jumlah itu, kata Lutfi, mestinya stabilisasi minyak goreng sudah berlangsung. Namun, kenyataannya waktu itu minyak goreng masih langka. Tetapi setelahnya stok minyak goreng sudah melimpah tapi harganya masih melambung. Berdasarkan fakta ini, maka timbul pertanyaan: pelanggaran apa yang dilakukan eksportir dan pejabat Kemendag dalam pemberian fasilitas ekspor CPO jika DMO bahan baku minyak goreng dalam negeri sudah berlimpah?
Persoalan kedua yang menyisakan pertanyaan terkait dengan hasil putusan majelis hakim atas kasus ini. Majelis hakim menolak kerugian negara yang terdiri atas keuangan negara Rp 6 triliun dan perekonomian negara Rp 12,3 triliun sehingga totalnya Rp 18,3 triliun sebagaimana dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Bahkan, penghitungan kerugian perekonomian negara itu sempat pula direvisi. Kajian ahli menyimpulkan perekonomian di kasus ini menjadi Rp 10,09 triliun. Meski demikian, majelis hakim berpendapat, penghitungan tersebut sifatnya masih asumsi tidak nyata. Padahal, penghitungan perekonomian negara harusnya bersifat actual loss sehingga penghitungan ahli tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar menentukan kerugian perekonomian negara.
Begitu pula dengan dakwaan JPU terkait dengan kerugian keuangan negara senilai Rp 6,04 triliun itu. Majelis hakim berpendapat, penghitungan kerugian negara hanya bisa dihitung dari hasil keuntungan ilegal yang diperoleh dari kasus ini. Dengan demikian, hakim menilai kerugian negara dalam perkara itu hanya senilai Rp 2,5 triliun.
Pertanyaan ketiga tentang kasus ini terkait dengan putusan majelis hakim tingkat pertama yang tidak bulat. Adalah Hakim Anggota Moch. Agus Salim dengan dua hakim lainnya. Agus berpendapat khususnya berkaitan dengan terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (pihak swasta yang diperbantukan di Kemendag), yang dinilai tidak memperoleh keuntungan secara pribadi, berperan pasif dan saran atau kajian dari Lin Che Wei bersifat tidak mengikat dan tidak harus dilaksanakan.
Kendati masih menyisakan kontroversi, tetapi majelis hakim pada tingkat Mahkamah Agung (MA) berkata lain. Kelima terdakwa dalam perkara ini dihukum antara 5-8 tahun penjara. Kelima orang itu Indrasari Wisnu Wardhana (mantan pejabat Eselon I Kemendag); Pierre Togar Sitanggang (General Manager di Bagian General Affair Musim Mas); Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia); Stanley Ma (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group); dan Lin Che Wei dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Perkembangan terbaru kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya itu, Kejagung menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Setelah 3 korporasi tersebut, akankah ada tersangka baru lagi dalam kasus ini?