
Peneliti LPS: Sembari Negosiasi Tarif dengan AS, Indonesia Perlu Tetap Jaga Permintaan Domestik

Seto Wardono, Direktur Grup Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memaparkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam acara Economic & Business Forum 2025 bertema “Mitigate the Risks of Proxy War and Trade War for Indonesia”, yang digelar Theiconomics.com, Selasa (27/5), di Auditorium Kementerian Perdagangan RI/Foto: Theiconomics.com
Di tengah gonjang-ganjing perekonomian global akibat tarif resiprokal yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Indonesia harus tetap memperkuat ketahanan ekonomi domestik yang menjadi penopang utama perekonomian Indonesia.
Seto Wardono, Direktur Grup Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan konsumsi domestik yang mencakup konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga non profit, dan konsumsi pemerintah, termasuk juga investasi atau pembentukan modal tetap bruto merupakan penopang sekitar 90% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Berbicara dalam acara Economic & Business Forum 2025 bertema “Mitigate the Risks of Proxy War and Trade War for Indonesia”, yang digelar Theiconomics.com, Selasa (27/5) di Auditorium Kementerian Perdagangan RI, ia berkata, komposisi PDB Indonesia tersebut menunjukkan kuatnya faktor permintaan domestik.
“Jadi, misalnya ada gonjang-ganjing di eksternal, asal kita bisa fokus memperbaiki atau menjaga daya beli domestik kita, dengan program-program yang ada, harusnya kita relatif aman,” ujar Seto.
Sejumlah indikator sektor riil, kata dia, menunjukkan sejauh ini ekonomi Indonesia masih memiliki daya tahan yang tangguh.
Indikator Indeks Kepercayaan Konsumen, misalnya. Berdasarkan hasil survei LPS pada April 2025, kata dia, masih di atas 100, yang menunjukkan adanya optimisme.
“Indeks Kepercayaan Konsumen terakhir di bulan April masih optimis di level 103. Dan kalau kita lihat komposisinya per kelompok pendapatan rumah tangga, ini juga di posisi April masih lumayan. Untuk kelompok pendapatan di atas Rp7 juta per bulan, itu masih konsisten di atas 100. Jadi, masih tinggi. Yang lain juga di atas 100. Jadi, ini menggambarkan persepsi konsumen yang masih bagus terhadap kondisi ekonomi Indonesia, terhadap prospek ekonomi, terhadap ketenagakerjaan, terhadap tingkat pendapatan mereka,” ujarnya.
Seto mengatakan kebijakan yang dibuat pemerintah turut menjaga optimisme konsumen. Salah satunya, kebijakan diskon tarif listrik pada triwulan pertama yang lalu.
Kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50% untuk pelanggan rumah tangga dengan daya terpasang hingga 2.200 VA tersebut, kata Seto, menyebabkan terjadinya deflasi pada Januari dan Februari 2025.
“Jadi, mohon dipahami bahwa deflasi pada waktu itu bukan karena semata-mata pelemahan daya beli. Tetapi karena ada faktor ini yaitu diskon tarif listrik. Nah, nanti ketika di bulan Juni dan Juli, kemungkinan fenomena yang sama juga akan terjadi, dimana kita mungkin akan mengalami penurunan tekanan inflasi yang disebabkan oleh diskon tarif listrik ini,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya sudah mengumumkan akan kembali memberikan diskon tarif listrik sebesar 50% selama bulan Juni dan Juli 2025 yang ditargetkan bagi 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik di bawah 1.300 VA.
Seto mengapresiasi adanya kebijakan diskon tarif listrik tersebut. Sebab, ia berkata, tarif listrik merupakan komoditas dengan bobot terbesar terhadap inflasi di Indonesia.
LPS, kata dia, pernah melakukan survei mengenai pentingnya kebijakan tarif listrik ini terhadap 1.700 rumah tangga di enam wilayah yang dilakukan secara tatap muka.
“Kami waktu itu menanyakan kepada mereka, seberapa penting kebijakan subsidi listrik itu terhadap perbaikan keuangan mereka. Ternyata, pengaruh subsidi listrik terhadap pengeluaran rumah tangga sangat besar,” katanya.
“Responden yang menjawab sangat berpengaruh itu sekitar 48%, yang menjawab cukup berpengaruh 39%. Jadi, ini menjelaskan bagaimana pentingnya suatu kebijakan pemerintah dalam hal ini diskon tarif listrik untuk menopang pendapatan atau keuangan rumah tangga,” tambah Seto.
Di wilayah Jakarta, kata dia, bahakan kebijakan diskon tarif listrik tersebut sangat berpengaruh. Sebanyak 60% responden di wilayah ini, jelasnya, mengatakan kebijakan diskon tarif listrik ini “benar-benar sangat berpengaruh.”
“Makanya ini yang menjelaskan, ketika ada diskon tarif listrik di bulan Februari, indeks kepercayaan konsumen langsung naik ke level optimis. Ini mencerminkan bagaimana suatu kebijakan pemerintah itu bisa berdampak bagi ekonomi bahkan berdampak bagi sentimen publik, kemudian berdampak ke daya beli,” jelasnya.
Karena itu, Seto berkata, dengan komposisi perekonomian Indonesia yang ditopang oleh permintaan domestik, menjaga daya beli masyarakat adalah suatu hal yang penting.
“Artinya, ketika ada gejolak di eksternal kita relatif bisa terlindungi dengan baik, terutama kita perlu mengapresiasi beberapa kebijakan pemerintah yang memang ditujukan untuk memperkuat daya beli masyarakat terutama masyarakat di level bawah. Walaupun di sisi lain sebenarnya, negosiasi tarif dengan pemerintah Amerika Serikat juga perlu tetap dijalankan dan diupayakan agar kita bisa mendapatkan tarif yang lebih rendah daripada pesaing-pesaing kita sehingga harapannya ekonomi kita bisa tumbuh lebih kuat, mudah-mudahan bisa mencapai target pertumbuhan pemerintah Presiden Prabowo,” ujarnya.
Leave a reply
