PPN 12% untuk Transaksi Uang Elektronik dan Tambah Saldo Dompet Digital, Begini Penjelasan Ditjen Pajak Kemenkeu
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut dasar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk transaksi uang elektronik dan dompet digital bukan pada nilai pengisian saldo. Pengenaan PPN 12% dikenakan pada jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan, pengenaan PPN pada jasa transaksi uang elektronik sudah berlaku bahkan sebelum munculnya kebijakan PPN 12%. Kebijakan tersebut tertuang dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
“Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru,” kata Dwi dalam keterangan resminya pada Senin (23/12).
Untuk hitungan pengenaan PPN, kata Dwi , misalnya, isi ulang uang elektronik sebesar Rp 1 juta dengan biaya Rp 1.500, maka PPN-nya 11% x Rp 1.500 = Rp 165. Dengan kenaikan PPN, maka 12% x Rp 1.500 = Rp 180 yang juga berlaku untuk pengisian dompet digital atau e-wallet.
“Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15, berapapun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut. Sebab, PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut, sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah,” ungkap Dwi.
Untuk transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS), kata Dwi, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan objek pajak baru. Pemerintah telah memberlakukan dasar pengenaan PPN pada merchant discount rate (MDR) yang dipungut penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
Dasar hukum untuk itu, kata Dwi, terdapat pada PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Contohnya, pembelian televisi seharga Rp 5 juta, maka PPN terutang sebesar Rp 550 ribu, sehingga total harga yang harus dibayarkan yakni Rp 5,5 juta.
Terhadap jumlah pembayaran, kata Dwi, tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun pembayaran lainnya. “Jasa sistem pembayaran melalui QRIS bukan merupakan objek pajak baru. Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah MDR yang dipungut penyelenggara jasa dari pemilik merchant,” kata Dwi.
Sementara itu, lanjut Dwi, untuk biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, YouTube premium, dan sebagainya merupakan objek pajak PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Kebijakan itu diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Karena itu, kata Dwi, pengenaan PPN terhadap platform digital bukan terjadi ketika pemerintah memberlakukan kenaikan tarif PPN 12%. “Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru,” katanya.