Rapat Kreditor Pertama, Nasabah Kresna Life Sampaikan Keberatan Atas Putusan PKPU
Jumat (18/12) digelar rapat kreditor pertama atas PKPU No. 389/Pdt.SusPKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst terhadap PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life). Ratusan nasabah Kresna Life hadir dengan penuh antusias di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tempat agenda rapat diadakan.
Agenda rapat atau sidang yang mestinya dimulai pukul 09.00 WIB molor hingga pukul 10.00 WIB karena hakim pengawas proses PKPU Mochammad Djoenaidie, SH, M.H terlambat datang.
Saat rapat berlangsung, nasabah meminta transaparansi soal pertimbangan hukum dikeluarkannya putusan PKPU Sementara tersebut. Nasabah juga menyampaikan surat penolakan putusan PKPU Sementara yang ditujukan ke Tim Pengurus PKPU PT Asuransi Jiwa Kresna dan tembusan ditujukan kepada sejumlah lembaga termasuk Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengadili perkara ini dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Nasabah menyatakan bahwa putusan PKPU sementara itu cacat hukum. Karena, jelas-jelas pasal 50 UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian menyebutkan bahwa PKPU hanya bisa dilakukan oleh OJK. Dalam penjelasan atas pasal 50 tersebut juga dengan jelas disebutkan bahwa “kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beralih menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini.”
Ketentuan pada pasal 50 UU No.40 tahun 2014 ini, juga berhubungan dengan (junto) pasal 223 UU No.37 tahun 2004 yang berbunyi: “dalam hal debitor adalah bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).”
Ada pun pasal 2 ayat (5) UU No.37 tahun 2004 berbunyi: “dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
“Kami butuh informasi lebih lanjut mengenai kenapa PKPU ini bisa sampai dikabulkan,” ujar Santy, juru bicara nasabah dalam rapat itu.
Santy mengungkapkan sebelumnya, dalam zoom meeting dengan sejumlah nasabah, Benny Wulur selaku kuasa hukum Pemohon (Lukman Wibowo) mengatakan sudah meminta izin OJK untuk mengajukan PKPU. Tetapi karena dalam 10 hari tidak ada jawaban dari OJK, maka berdasarkan UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 53, maka dianggap OJK mengizinkan PKPU dilaksanakan.
Santy mengatakan UU No.30 tahun 2014 Pasal 53 tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum karena sudah ada UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian yang memberi wewenang kepada OJK. Kemudian disusul dengan POJK No.28/POJK.05/2015 Pasal 54 yang meyebutkan OJK akan memberikan jawaban dalam 30 hari. Santy mengatakan UU Perasuransian dan POJK tersebut menjadi Lex Specialis untuk tindakan hukum perusahaan asuransi.
“Tidak ada satu pun pasal di situ (POJK) yang saya temukan yang mengatakan bahwa keabsenan OJK untuk menjawab itu dapat diinterpretasikan sebagai menyetujui,” ujar Santy yang juga diamaini nasabah lainnya di dalam ruangan sidang.
Santy juga mengungkapkan pada 15 Desember lalu nasabah termasuk dirinya mengadakan pertemuan dengan direksi Kresna Life dimana dihadiri Direktur Utama Kresna Life, Kurniadi Sastrawinata. Dalam pertemuan itu, Kresna Life menyatakan tidak menginginkan PKPU karena sedang berusaha atau berupaya untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan Perjanjian Kesepakatan Bersama (PKB). Tetapi karena sudah keluar putusan PKPU Sementara ini, terpaksa pembayaran kepada nasabah yang sudah teken PKB pun dihentikan.
“Jadi, oleh sebab itu, […] kami mohon supaya Pengadilan ini benar-benar mempertimbankan fakta-fakta ini dalam pemeriksaan pokok perkaranya dan memutuskan untuk menghentikan PKPU ini,” ujar Santy.
Sukisari, kuasa hukum nasabah juga meyampaikan, nasabah ingin melihat pertimbangan majelis hakim dalam membuat putusan PKPU Sementara yang tidak sesuai dengan UU Perasuransian ini. “Kalau ini memang terobosan hukum, karena menurut pasal 223 tadi, junto pasal pasal 2 ayat (5) UU No.37 tahun 2004 yang berhak mengajukan PKPU perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan atau dalam hal ini [sudah dialihkan ke] OJK,” ujar Sukisari.
Sukisari meminta agar keberatan nasabah dengan dasar hukum UU No.40 tahun 2014 dan UU No.37 tahun 2004 itu dicatat dalam berita acara oleh panitera. “Karena memang proses ini tidak bisa dihentikan, nanti supaya bisa dilakukan PK [peninjauan kembali], karena tidak mungkin kasasi, karena tidak ada kasasi. Kasasi hanya bisa dilakukan terhadap homologasi. Oleh karena itu mohon dicatat dalam berita acara, supaya nanti bisa di PK karena sudah ada yurisprudensinya, dimana saat itu homologasi bisa dibatalkan, PKPU juga bisa dibatalkan,” ujar Sukisari.
Sukisari menambahkan PK prosedur satu-satunya bagi nasabah saat ini. “Mohon dibacakan pertimbangannya, karena kami semua ingin tahu dan juga menghadirkan pakar hukum dari OJK salah satunya, karena untuk mengetahui apa penyebabnya. Padahal OJK baru membuka pemblokiran pembatasan usahanya Kresna Life,” ujarnya disambut tepuk tangan nasabah.
Suasana rapat menjadi panas dan riuh karena tampak usaha hakim untuk membatasi waktu berbicara para nasabah/kuasa nasabah. Hakim tetap tidak mau memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum atas dikabulkannya PKPU oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak berkewajiban melakukannya. Dus, sejumlah nasabah berteriak meminta adanya transparansi hukum.
Hakim juga berusaha menyudahi sidang dengan alasan akan sholat Jumat. Suasana ruangan sidang pun makin riuh oleh suara nasabah yang meminta sidang dilanjutkan usai sholat Jumat. Tapi hakim kemudian tetap menutup sidang dengan kekecewaan para nasabah/kreditor.