Analis DBS: Menkeu Baru, Reformasi Fiskal Tetap Jadi Prioritas
Penunjukan kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Joko Widodo masih memberikan dampak positif. Menteri Keuangan Sri Mulyani masih diterima pasar. Kepala Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin mengatakan penunjukan kembali Sri Mulyani sangat positif di tengah kondisi global yang masih volatile.
Tantangan global saat ini sangat berat, pertumbuhan ekonomi dunia sedang melemah, belum lagi diwarnai perang dagang dan beberapa isu geopolitik, semua hal ini dapat memengaruhi perekonomian Indonesia. Penetapan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan juga mendapat reaksi positif dari pasar.
Masyita memprediksi Kementerian akan melanjutkan manajemen anggaran yang baik dan melanjutkan reformasi fiskal. Manajemen anggaran yang baik sangat penting dalam kondisi yang volatile, karena anggaran pemerintah diperlukan sebagai stimulus di saat ekonomi sedang melemah (kontra siklus) dan secara bersamaan menjaga defisit agar tetap berada di koridor yang aman. Kebijakan fiskal yang kontra siklus berarti pada saat perekonomian sedang lemah, stimulus fiskal dapat digunakan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi.
Ia juga menilai reformasi fiskal akan tetap menjadi prioritas, dan hal tersebut memang sangat diperlukan untuk Indonesia karena rasio pajak yang masih kurang dari 12% di bawah rata-rata negara peers. Untuk tumbuh lebih tinggi Indonesia membutuhkan rasio pajak setidaknya 15%. Sedangkan mengenai kabinet baru secara keseluruhan, Masyita menilai cukup netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Kabinet ini memiliki kombinasi antara partai dan profesional yang cukup baik. Terlepas dari latar belakang para menteri di kabinet Jokowi yang baru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan visi Jokowi dapat tercapai, yaitu Indonesia menjadi negara kaya di tahun 2045.
Masyita juga melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Jokowi adalah terus melakukan reformasi, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis). Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% (manufaktur, nilai tambah yang lebih tinggi, diversifikasi jauh dari ekonomi berbasis komoditas), sambil mempertahankan stabilitas rupiah (current account deficit/CAD berkorelasi positif dengan pertumbuhan karena kandungan impor ekspor dan investasi cukup besar).
Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%. Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia, namun melihat pertumbuhan semester I tahun 2019, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan Emerging Market Asia lainnya. Sayangnya, Indonesia belum menerima pengalihan produksi dari perang dagang, yang dapat menjadi terbalik bagi beberapa negara di Asia seperti Taiwan dan Vietnam.
Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas, pertumbuhan investasi swasta yang lambat (proyek infrastruktur pemerintah telah mendorong pertumbuhan dalam empat tahun terakhir). Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid (sektor manufaktur, sektor bernilai tambah lebih tinggi, kurang bergantung pada produksi komoditas mentah).
Dengan kondisi pertumbuhan yang lebih lambat, inflasi yang stabil (dekat dengan titik tengah Bank Indonesia), dan Rupiah yang relatif stabil, Bank Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga kebijakan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan. Masyita melihat adanya potongan tambahan 25bps pada kuartal 4 tahun 2019.
Revisi tarif pajak perusahaan dari 25% menjadi 20% hingga 2022, pajak penghasilan untuk IPO menjadi 17% dan menghapuskan pajak penghasilan untuk pembayaran dividen yang diumumkan pemerintah bisa memberikan dampak yang baik terhadap ekonomi namun belajar dari pengalaman masa lalu di mana sektor korporasi yang menerima insentif pajak cukup moderat. Tax holiday untuk industri perintis misalnya, mencatat nol pengeluaran pajak pada tahun 2016 dan 2017. Ada beberapa variabel lain yang lebih penting untuk keputusan investasi selain insentif pajak yang perlu ditangani juga, seperti kemudahan berbisnis, biaya logistik yang tinggi, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Bagi investor asing dan prospek bisnis asing, Masyita menilai bahwa posisi Indonesia di mata investor masih sangat baik, potensi ekonomi negara yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi besar dan masih mendapat manfaat dari dividen demografis. Pandangan Kepala Ekonom DBS Indonesia, rupiah cenderung stabil hingga akhir tahun dengan asumsi aliran modal dan neraca perdagangan stabil. Rupiah diprediksi akan tetap sekitar Rp14.200-14.400 dan sedikit terdepresiasi pada tahun 2020 karena percepatan pembangunan infrastruktur dibandingkan 2019.