Memandang Defisit Perdagangan Lebih Jauh
Sejalan dengan ekspektasi kami, ekspor dan impor berkontraksi sebesar 5,7% YoY dan 2,4% pada September serta berdampak pada defisit perdagangan sebesar US$161 juta. Memandang angka-angka yang lemah belakangan ini, pertumbuhan ekspor dan impor bisa jadi telah mencapai titik terendah (lihat grafik di bawah).
Impor akan terjaga relatif rendah pada 1Q20 karena investor menunggu pemerintah baru (yang akan dilantik akhir bulan ini) serta inisiatif mereka.
Volume Ekspor Sesungguhnya Meningkat
Mengupas efek harga dari perlambatan global, ekspor meningkat dari sisi volume, yaitu 7,5% YoY di Januari-September dibanding 13,4% pada periode yang sama di tahun lalu. Sebaliknya, volume impor berkontraksi meskipun lebih kecil 4,1% dibanding 8,1% untuk periode yang sama.
Impor barang-barang konsumsi melemah oleh depresiasi rupiah pada 2017-2018, kebutuhan biodiesel pemerintah 20% (B20) (efektif 1 September 2018), dan tarif tambahan untuk lebih dari 1000 barang konsumsi (efektif 12 September 2018). Apresiasi terhadap rupiah (secara nominal dan dalam hal nilai tukar) (lihat grafik di bawah) pada tahun lalu telah membantu impor barang-barang konsumsi pulih menjadi 6,8% YoY pada September dari 2,0% pada Agustus.
Lemahnya impor modal dan bahan baku secara umum, menyiratkan lebih banyak perlambatan pertumbuhan investasi dalam 1-2 kuartal berikutnya. Impor yang lebih rendah akan merugikan ekspor karena tingginya konten ekspor terhadap impor. Karenanya, segala tindakan pembatasan impor yang melibatkan bahan mentah dan barang perantara untuk mempersempit defisit perdagangan akan menjadi kontraproduktif.
Dengan fokus Bank Indonesia diseimbangkan antara mendukung pertumbuhan dan menjaga stabilitas rupiah, kami memperkirakan akan ada pemotongan suku bunga 25 bps pada 4Q19, yang kemungkinan dapat segera terjadi dalam bulan ini.