Memandang Defisit Perdagangan Lebih Jauh

0
86
Reporter: Dr Masyita Crystallin (Kepala Ekonom DBS Indonesia)

Sejalan dengan ekspektasi kami, ekspor dan impor berkontraksi sebesar 5,7% YoY dan 2,4% pada September serta berdampak pada defisit perdagangan sebesar US$161 juta. Memandang angka-angka yang lemah belakangan ini, pertumbuhan ekspor dan impor bisa jadi telah mencapai titik terendah (lihat grafik di bawah).

image001.pngKhususnya, defisit perdagangan kumulatif US$1,9 miliar dalam 9 bulan pertama adalah setengah dari kekurangan USD3,8 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Ini mudah dikaitkan dengan fakta bahwa impor (-9,1%) turun lebih cepat dari ekspor (-8,0%) selama periode yang sama. Neraca perdagangan cenderung berfluktuasi antara surplus dan defisit (dalam kisaran ±US$500juta) dalam beberapa bulan mendatang. Ekspor dan impor diperkirakan masih lemah. Ekspor akan terus terbebani oleh perlambatan global.

Impor akan terjaga relatif rendah pada 1Q20 karena investor menunggu pemerintah baru (yang akan dilantik akhir bulan ini) serta inisiatif mereka.

Volume Ekspor Sesungguhnya Meningkat

Mengupas efek harga dari perlambatan global, ekspor meningkat dari sisi volume, yaitu 7,5% YoY di Januari-September dibanding 13,4% pada periode yang sama di tahun lalu. Sebaliknya, volume impor berkontraksi meskipun lebih kecil 4,1% dibanding 8,1% untuk periode yang sama.

image002.pngDiarahkan oleh perlambatan aktivitas investasi secara keseluruhan, kontraksi impor kemungkinan akan berlanjut. Pertumbuhan investasi telah menurun menjadi 5,0% di 1H19 dari 6,9% di 1H18 selama tahun pemilihan umum ini. Investasi pemerintah telah melambat karena lebih banyak proyek yang diselesaikan daripada proyek baru yang dimulai. Investasi swasta sudah tidak terlalu aktif namun harus segera dimulai setelah Presiden dan Wakil Presiden dilantik pada akhir bulan ini. Perlambatan pada impor bersifat umum; ketiga kategori — barang konsumsi, bahan mentah dan barang modal – berkontraksi (grafik dibawah).
image003.png

Impor barang-barang konsumsi melemah oleh depresiasi rupiah pada 2017-2018, kebutuhan biodiesel pemerintah 20% (B20) (efektif 1 September 2018), dan tarif tambahan untuk lebih dari 1000 barang konsumsi (efektif 12 September 2018). Apresiasi terhadap rupiah (secara nominal dan dalam hal nilai tukar) (lihat grafik di bawah) pada tahun lalu telah membantu impor barang-barang konsumsi pulih menjadi 6,8% YoY pada September dari 2,0% pada Agustus.

image004.pngMeskipun ada peningkatan pada impor barang konsumsi dan modal, pertumbuhan pada bahan mentah dan barang modal tetap negatif di -8,8% YoY dan 4,3% dalam 9 bulan pertama.

Lemahnya impor modal dan bahan baku secara umum, menyiratkan lebih banyak perlambatan pertumbuhan investasi dalam 1-2 kuartal berikutnya. Impor yang lebih rendah akan merugikan ekspor karena tingginya konten ekspor terhadap impor. Karenanya, segala tindakan pembatasan impor yang melibatkan bahan mentah dan barang perantara untuk mempersempit defisit perdagangan akan menjadi kontraproduktif.

Baca Juga :   Profil Burhanuddin Abdullah: Berkarir di Kementerian, BI, dan BUMN

Dengan fokus Bank Indonesia diseimbangkan antara mendukung pertumbuhan dan menjaga stabilitas rupiah, kami memperkirakan akan ada pemotongan suku bunga 25 bps pada 4Q19, yang kemungkinan dapat segera terjadi dalam bulan ini.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics