Perjalanan Coretax yang Menyedot Perhatian Publik

Ilustrasi/MI
Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 berlandaskan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024. PMK ini ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
PMK ini lahir sebagai regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel. Regulasi ini yang memayungi Pilar Teknologi Informasi dan Basis Data serta Proses Bisnis.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti mengatakan bahwa poin-poin yang diatur dalam PMK ini menjadi dasar hukum implementasi hasil penataan ulang proses bisnis (Business Process Reenginering) pada sistem inti administrasi perpajakan yang baru.
“PMK ini berdampak pada 42 (empat puluh dua) peraturan yang sekarang masih berlaku,” kata Dwi dalam keterangannya pada November 2024 silam.
Coretax DJP melakukan tahap praimplementasi pada tanggal 16 Desember hingga 31 Desember 2024. Wajib Pajak dapat mulai log in ke sistem Coretax DJP pada periode tersebut. Tahap ini bertujuan agar wajib pajak lebih awal mempersiapkan diri sebelum implementasi pada Januari 2025.
Dwi mengatakan harapannya saat implementasi nanti Wajib Pajak tidak menemui kesulitan penggunaan aplikasi.
Kala itu, pada tahap praimplementasi, DJP menyampaikan fitur yang dapat diakses masih terbatas. DJP menyampaikan fitur coretax DJP akan dapat diakses secara lengkap setelah diluncurkan pada Januari 2025.
Namun, pada perjalanannya, implementasi resmi Coretax tak mulus. Coretax yang diimplementasikan pada tanggal 1 Januari 2025 masih banyak yang harus disempurnakan.
Dalam keterangan resminya, DJP meminta maaf kepada seluruh wajib pajak atas terdapatnya kendala–kendala yang terjadi dalam penggunaan fitur-fitur layanan Coretax DJP yang menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan keterlambatan layanan administrasi perpajakan.
Pasca 10 Januari 2025, DJP menyampaikan pihkanya telah melakukan perbaikan pada proses bisnis yang meliputi pertama, pendaftaran yang mencakup gagal login, pendaftaran NPWP, pendaftaran NPWP warga negara asing (WNA), pengiriman one-time password (OTP), dan update profil Wajib Pajak termasuk perubahan data Penanggung Jawab (PIC) perusahaan dan karyawan selain PIC.
Kedua, SPT yang mencakup pembuatan faktur pajak yang disampaikan dalam bentuk *.xml.
Ketiga, Document Management System yang mencakup proses penandatanganan faktur pajak menggunakan Kode Otorisasi DJP ataupun sertifikat elektronik.
DJP juga menyampaikan perbaikan yang telah dilakukan yakni pertama, memperluas jaringan dan peningkatan kapasitas bandwidth. Kedua, penunjukan penanggung jawab perusahaan (role access / impersonate) dan penunjukan penanggung jawab kegiatan administrasi perusahaan (PIC) dalam rangka pembuatan faktur pajak.
Ketiga, pembuatan faktur pajak baik yang disampaikan secara biasa maupun dalam bentuk *.xml. Keempat, pendaftaran yang meliputi pengaturan ulang kata sandi, pemadanan NIK-NPWP, pelaksanaan update data, dan penggunaan kode otorisasi sertifikat elektronik melalui pengenalan wajah (face recognition).
Kelima, pembayaran yang meliputi aplikasi pembuatan kode billing, pemindahbukuan, dan pembayaran tunggakan (utang pajak) berupa Surat Tagihan Pajak (STP) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Keenam, layanan pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh, Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) dan status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Terkait implementasi Coretax, DJP menyampaikan Wajib Pajak tidak perlu khawatir adanya pengenaan sanksi administrasi apabila dalam masa transisi terdapat keterlambatan penerbitan faktur pajak maupun pelaporan pajak. DJP memastikan tidak ada beban tambahan kepada Wajib Pajak sebagai akibat penggunaan sistem yang berbeda antara sistem yang selama ini digunakan dengan sistem yang baru.
Perjalanan implementasi Coretax memang masih perlu banyak diperbaiki dan perlunya DJP membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar suara para wajib pajak dan publik.
Meski demikian, semangat penguatan perpajakan ini juga harus dilihat dengan jernih. DJP menyampaikan terbitnya PMK Coretax memberikan kemudahan-kemudahan yang diantaranya pertama, registrasi menjadi lebih mudah, dapat dilakukan di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless), melalui berbagai saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau melalui pihak lain (omni channel), dan tervalidasi dengan sumber data (single source of truth).
Dua, tersedianya Akun Wajib Pajak (Taxpayer Account) yang dapat diakses secara daring melalui Portal Wajib Pajak sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan hak dan/atau memuhi kewajiban perpajakan secara elektronik.
Tiga, jatuh tempo pembayaran atau penyetoran masa beberapa jenis pajak diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya. Penyeragaman tersebut memudahkan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.
Empat, wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak. Keberadaan deposit pajak dapat menghindarkan Wajib Pajak dari risiko keterlambatan pembayaran pajak.
Lima, pemerintah mempermudah proses permohonan fasilitas PPh tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas PPh, Wajib Pajak harus melampirkan SKF Wajib Pajak dan/atau seluruh pemegang saham.
Enam, satu kode billing dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak. Sebelumnya, satu kode billing hanya bisa digunakan untuk membayar satu jenis setoran pajak.
Tujuh, kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan fitur prepopulated. Sebelumnya, fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis pajak PPh Pasal 21. Ke depannya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam Coretax karena bukti potong dibuat di sana. Fitur ini tidak hanya mengakomodasi PPh Pasal 21, tetapi juga mencakup PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga pelaporan SPT Tahunan PPh akan lebih efisien.
Delapan, pendaftaran objek PBB untuk memperoleh Nomor Objek Pajak (NOP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dilakukan pada KPP tempat Wajib Pajak Pusat terdaftar.