Asosiasi Ini Berikan Masukan untuk RUU Kepariwisataan, Apa Saja?

Anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira/Dokumentasi DPR
Iconomics - Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan menyerap aspirasi dan masukan dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Indonesia Home Stay Association (IHSA), Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), dan Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi).
Asosiasi tersebut memandang bahwa RUU Kepariwisataan perlu memasukkan substansi soal konservasi khususnya di destinasi pariwisata. Kemudian, asosiasi juga diminta menyampaikan data tambahan yang perlu diakomodisr dalam draf RUU Penggantian Atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
“Bahan masukan dan pandangan yang disampaikan pengurus PHRI, IHSA, Asita, HPI, dan Asidewi, menjadi bagian tidak terpisahkan dari rapat dengar pendapat umum ini, dan substansinya menjadi bahan Panja RUU Kepariwisataan Komisi X DPR untuk menyempurnakan rumusan substansi RUU perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,” ujar anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira di Kompleks Parlemen, Selasa (13/12).
Asosiasi seperti PHRI, misalnya, menyampaikan 4 aspirasi kepada Panja RUU Kepariwisataan. Pertama, mengenai relaksasi kebijakan pemerintah tahun 2022 memberikan dampak positif terhadap peningkatan pergerakan wisatawan ke Indonesia yang terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022.
Kedua, rumusan RUU Kepariwisataan, berisi substansi yang dapat menjawab tantangan pemulihan pariwisata pasca-pandemi Covid-19, antara lain peningkatan biaya perjalanan, antisipasi masa krisis (ancaman resesi global 2023), kontribusi digital dalam pengembangan sektor pariwisata.
Ketiga, pemerintah perlu menjamin substansi UU KUHP yang baru disahkan tidak merugikan sektor pariwisata utamanya potensi kriminalisasi pada pelaku pariwisata, mengingat pengalaman negatif industri hotel terhadap pola razia yang dilakukan aparat hukum. Keempat, Perlunya kebijakan yang jelas terkait peran dan fungsi lembaga konservasi dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata di tingkat pusat dan daerah.
Sementara dari pihak IHSA menyampaikan 2 substansi yang perlu masuk dalam kebijakan kepariwisataan. Pertama, usaha homestay termasuk dalam skala usaha mikro dan kecil (UMK) dengan rasio rendah. Hal ini perlu dipertegas dalam peraturan pemerintah pusat dan daerah, khususnya terkait perpajakan dan pinjaman lunak. Perlunya pengaturan mengenai standar, sertifikasi, dan kompetensi pengelolaan homestay Indonesia serta skema pemasarannya.
Sedangkan dari Asita menyampaikan 3 rekomendasi. Pertama, menyederhanakan kelembagaan dan asosiasi kepariwisataan (GIPI dan BPPI). Kedua, perlunya perlindungan terhadap asosiasi perjalanan wisata Indonesia dari asosiasi perjalanan wisata luar negeri yang menggunakan aplikasi promosi tour and travel, sementara asosiasi tersebut tidak memiliki kantor di Indonesia. Selanjutnya mengusulkan agar asosiasi perjalanan wisata luar negeri yang menggunakan aplikasi promosi tour and travel membuka kantornya di Indonesia.
Selanjutnya dari HPI mengusulkan 2 substansi profesi pramuwisata yang perlu mendapatkan perlindungan dalam bentuk undang-undang dengan beberapa penekanan. Pertama, profesi pramuwisata harus secara tegas hanya dilaksanakan warga negara Indonesia, hal ini untuk menjawab permasalahan adanya kegiatan pramuwisata yang dilakukan pemandu wisata warga negara asing, sehingga mengganggu eksistensi pramuwisata Indonesia. Kedua, perlunya pengaturan mengenai sertifikasi dan kompetensi serta organisasi profesi pramuwisata Indonesia.
Berikutnya, Asidewi menyampaikan substansi terhadap RUU Kepariwisataan mengenai skema pendanaan untuk pengembangan dan pendampingan yang komprehensif terhadap wisata yang ada di desa, serta adanya koordinasi pembinaan desa wisata di daerah dan tingkat pusat yang lintas kementerian/lembaga.