Banggar dan Kemenkeu Sepakat Sesuaikan Asumsi Dasar Makro di RAPBN 2024

0
157
Reporter: Rommy Yudhistira

Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat menyesuaikan asumsi dasar ekonomi makro dalam postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Kesepakatan ini berdasarkan perkembangan hasil rapat panitia kerja komisi-komisi dengan pemerintah dan mayoritas indikator ekonomi sama dengan RAPBN dari pemerintah.

Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, perbedaan hanya tampak pada harapan Komisi VII yang menghendaki target lifting minyak bumi lebih tinggi dari usulan pemerintah sebesar 625 ribu barel per hari menjadi 635 ribu barel per hari. Tujuan usulan itu agar Indonesia mampu mendorong investasi yang lebih besar di sektor hulu.

“Dengan produksi minyak bumi lebih besar, pemerintah akan memiliki dompet lebih tebal, devisa kuat, serta tandon minyak bumi lebih besar untuk melindungi rakyat pada sektor hilir tatkala ada lonjakan harga minyak bumi dunia,” kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/9).

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, postur RAPBN 2024 diselaraskan dengan perkembangan ekonomi terkini dan prospek ke depan. Khususnya yang menyangkut dengan harga minyak yang bergerak cepat dalam beberapa waktu terakhir.

Baca Juga :   Anggota Komisi IX Ini Minta Pemerintah Kaji Ulang Belajar Tatap Muka untuk Anak

Sri Mulyani memaparkan, asumsi harga minyak mentah (ICP) disesuaikan menjadi US$ 82 per barel dan lifting minyak bumi menjadi 635 ribu barel per hari. Sedangkan untuk asumsi yang lain, masih sesuai dengan usulan yang ada dalam RAPBN 2024.

“Kalau kita lihat keputusan Arab Saudi dan Rusia untuk menahan jumlah produksi juga telah menimbulkan kenaikan dari harga minyak. Di satu sisi prospek perekonomian global terutama Amerika dan Tiongkok tentu menjadi salah satu faktor,” ujar Sri Mulyani.

Dengan adanya penyesuaian asumsi makro, kata Sri Mulyani, target pendapatan negara menjadi Rp 2.802,3 triliun, naik Rp 21 triliun dari sebelumnya yang Rp 2.781,3 triliun. Penerimaan perpajakan juga meningkat Rp 2,0 triliun menjadi Rp 2.309,9 triliun.

Peningkatan tersebut kata Sri Mulyani, karena implementasi core tax system, kegiatan digital forensic, dan menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan. Sedangkan, target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meningkat Rp 19,0 triliun menjadi Rp 492,0 triliun.

Hal tersebut, kata Sri Mulyani, dipengaruhi penyesuaian asumsi makro, upaya inovasi layanan, dan perbaikan tata kelola yang akan dilakukan. “Kita telah membahas dan nanti akan disampaikan juga tambahan untuk belanja sebesar 21 triliun artinya kenaikan ini tidak mengurangi defisit. Defisit tetap dijaga pada 522,8 triliun secara nominal atau secara GDP adalah 2,29. Jadi nominal untuk defisitnya tidak berubah,” ujar Sri Mulyani.

Baca Juga :   DPR Batalkan Pengesahan RUU Pilkada dan Tetap Merujuk kepada Putusan MK

Selanjutnya, kata Sri Mulyani, tambahan belanja negara akan dialokasikan untuk kementerian/lembaga sebesar Rp 3,8 triliun, tambahan subsidi energi Rp 3,2 triliun, kompensasi BBM dan listrik Rp 10,1 triliun, dan cadangan pendidikan Rp 3,9 triliun. Peningkatan subsidi energi dilakukan lantaran adanya penyesuaian asumsi harga minyak mentah dan penetapan volume yang diarahkan sesuai kebutuhan.

Lalu, pembiayaan non-utang dalam bentuk investasi, kata Sri Mulyani, juga mengalami perubahan. Perubahan itu meliputi, investasi untuk BUMN atau penyertaan modal negara (PMN) dinaikkan Rp 12,1 triliun menjadi Rp 30,7 triliun dari sebelumnya Rp 18,6 triliun. Kemudian, cadangan pembiayaan dialihkan menjadi PMN senilai Rp 12,1 triliun.

“Dengan demikian, komposisinya saja yang berubah dalam pembahasan Panja A. Tidak ada perubahan total yaitu Rp 176,2 triliun, namun komposisi berubah dari cadangan pembiayaan dari Rp 25,8 triliun dinaikkan menjadi PMN pada BUMN sebesar Rp 12,1 triliun sehingga total PMN BUMN menjadi Rp 30,7 triliun, sedangkan cadangan pembiayaan turun menjadi Rp 13,7 triliun,” kata Sri Mulyani.

Leave a reply

Iconomics