
Didesak Jelaskan Realisasi Investasi yang Mangkrak, Ini Jawaban Bahlil di Komisi VI DPR

Anggota Komisi VI DPR Amin AK/Dokumentasi DPR
Iconomics - Anggota Komisi VI DPR Amin AK mendesak Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan perihal realisasi investasi Rp 548 triliun atau 78% dari yang mangkrak sekitar Rp 700 triliun. Kementerian Investasi juga diminta menjelaskan capaian realisasi yang mencapai 80% itu.
Menurut Amin, beberapa faktor soal investasi itu tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas teori ekonomi pada umumnya. “Mereka bisa menjalankan proses yang di antaranya belum tuntas urusan perizinan. Saya baca ada beberapa ini, ada beberapa investasi yang perizinannya belum beres, nilainya ratusan triliun, kemudian mangkrak sampai sekian tahun,” kata Amin di Kompleks Parlemen, Rabu (21/9).
Dalam investasi tersebut, kata Amin, urusan perizinan menjadi faktor yang menghambat kelancaran para investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. “Sebagian dari yang mangkrak itu sudah bisa bapak selesaikan, tapi antara yang disebutkan ini, bapak pesimis untuk bisa diselesaikan. Ini bukannya perizinan itu kan ranah dari Kementerian Investasi?” kata Amin.
Menjawab pertanyaan itu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia membenarkan, bahwa sejak kali pertama menjabat terdapat investasi yang mangkrak senilai Rp 708 triliun. Kendati demikian, ketika menjabat investasi tersebut telah direalisasikan Rp 584 triliun atau sebesar 78,4%.
Menurut Bahlil, terdapat 3 persoalan yang menjadi faktor penyebab mangkraknya investasi tersebut. Pertama, aturan tumpang tindih antara kabupaten/kota dengan provinsi sebelum adanya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Kedua, adanya ego sektoral antara kementerian/lembaga sehingga itulah yang sudah diselesaikan selama Bahlil menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM.
Faktor ketiga, kata Bahlil, terjadi permasalahan yang tidak dapat diurai secara teori walau dapat dirasakan pihak-pihak yang memang pernah mengalami hal tersebut. Soal itu, ibarat angin yang tidak dapat dipegang, namun bisa dirasakan.
“Yang bisa mendekati hantu ini, hanya orang yang mantan hantu atau ilmu hantu. Ada Rp 100 triliun lebih yang tidak bisa tereksekusi secara mutlak sampai dengan hari ini, itu akibat beberapa investor, karena pandemi menjadi kekurangan likuiditas,” ujar Bahlil.
Karena itu, kata Bahlil, persoalan mangkraknya investasi bukan lagi terkait dengan perizinan atau insentif, melainkan permasalahan likuiditas dari beberapa investor yang meminta untuk diundur. Selain itu, persoalan tanah juga masih menjadi salah satu faktor yang menghambat datangnya para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Menurut Bahlil, tingginya harga tanah di Indonesia, membuat para investor beralih dan memilih menanamkan modalnya di negara lain yang harga tanahnya lebih terjangkau.
“Sampai ayam tumbuh gigi pun kita susah berkompetisi dengan negara-negara lain yang memberikan tanahnya yang harganya terjangkau dengan fasilitas yang memadai. Itu persoalan fundamental lain yang mungkin saya sampaikan kenapa dari Rp 708 triliun itu yang baru tereksekusi baru sebesar Rp 584 triliun,” tutur Bahlil.