Dinilai Janggal, BPK Diminta Audit Penerimaan Negara dari Program Hilirisasi Nikel

0
382
Reporter: Rommy Yudhistira

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta mengaudit data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah. Pasalnya, klaim pemerintah terkait kenaikan penerimaan negara dari Rp 15 triliun menjadi Rp 350 triliun dinilai janggal.

Karena itu, kata anggota Komisi VII DPR, pihaknya meragukan nilai penerimaan itu, dan menganggap ada kejanggalan. BPK harus bisa memastikan berapa nilai penerimaan negara secara aktual dari program hilirisasi nikel.

“Sebab angka yang disampaikan pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal,” kata Mulyanto dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Di samping itu, kata Mulyanto, pemerintah untuk secara terbuka dalam menjelaskan besarnya penerimaan negara dari hilirisasi nikel. Dengan demikian, tidak terjadi salah tafsir di tingkat masyarakat.

Atas dasar tersebut, kata Mulyanto, pemerintah perlu menjelaskan secara gamblang soal itu lantaran industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Pemberlakuan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi, akan berlaku pada tahun ini dan itu masih sebatas rencana.

“Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara, namun sekadar angka ekspor nikel yang dilakukan industri smelter asing, keuntungannya pun terutama dinikmati investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya,” ujar Mulyanto.

Baca Juga :   Soal UMP, Anggota Komisi IX Ini Usulkan Para Pihak Tempuh Jalur Hukum

Masih kata Mulyanto, pihaknya karena itu mendesak pemerintah mengevaluasi secara komprehensif program hilirisasi nikel sebelum berlanjut pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit. Harapannya, industrinya benar-benar tumbuh dan bernilai tambah tinggi dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat.

“Jangan sekadar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di Tiongkok, yang mengekspor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan, terjadi lompatan dalam hilirisasi di mana sebelumnya ketika Indonesia masih mengekspor dalam bentuk mentah, nilainya hanya Rp 15 triliun per tahun. Setelah masuk ke dalam industrialisasi, angkanya naik hingga Rp 360 triliun atau sekitar US$ 20,9 miliar per tahun.

“Itu baru satu komoditi, baru satu barang. Kita memiliki yang namanya nikel, memiliki bauksit, memiliki tembaga, memiliki timah, memiliki aspal. Aspal apalagi. Ini kalau enggak kita ke lapangan, enggak ketemu,” ujar Jokowi.

 

 

Leave a reply

Iconomics