
Gonta-Ganti Kebijakan Migor dan Sektor CPO yang Dikuasai Segelintir Perusahaan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira (kiri) dan anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus (kanan)/Isitmewa
Pemerintah kerap gonta-ganti kebijakan untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng. Mulai dari kebijakan memberikan subsidi, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), larangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya hingga kembali menerapkan kebijakan DMO. Dari semua kebijakan itu, belum ada yang ampuh menekan harga minyak goreng baik curah maupun dalam kemasan.
Untuk memastikan harga minyak goreng curah sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) hasil DMO, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR). Permendag tersebut resmi berlaku sejak 23 Mei lalu sebagai dasar untuk mengoptimalkan distribusi minyak goreng curah.
Menteri Perdagangan M. Lutfi kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Selasa (7/6) malam mengatakan, untuk menjalankan program MGCR ini, maka akan Kemendag perlu memastikan pasokan CPO cukup sehingga harga sesuai HET yakni Rp 14 ribu per liter bisa didapatkan di 10 ribu titik penjualan. Kemendag juga menggunakan aplikasi digital untuk memastikan pasokan CPO ke produsen minyak goreng hingga penyerahan ke konsumen menggunakan nomor induk kependudukan (NIK).
Lutfi juga mengatakan, target kebijakan program MGCR ini menjangkau 150 juta orang. Meski belum memiliki pusat data untuk 150 juta orang itu, lewat aplikasi itu 1 orang hanya bisa membeli 2 liter per hari dengan menunjukkan KTP.
Akan tetapi, berjarak dua minggu, kebijakan tersebut belum juga mampu menekan harga minyak goreng baik curah dan minyak dalam kemasan. Apa yang terjadi sebetulnya? Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, harga minyak goreng curah masih terbilang cukup tinggi kisaran Rp 18.200 per liter.
Penyebabnya, kata Bhima, rantai distribusi yang mengalami banyak kebocoran. Distributor, misalnya, dinilai mengambil keuntungan terlalu tinggi sehingga masyarakat tidak bisa membeli minyak goreng curah sesuai HET.
Di samping itu, kata Bhima, dari sisi produsen cenderung tidak mau menjual minyak goreng di bawah HET lantaran selisih harga ekspor dengan harga jual di dalam negeri cukup jauh. “Jadi mereka memang berkeinginan untuk mendorong ekspor secara masif dibandingkan pemenuhan di dalam negeri,” kata Bhima saat dihubungi, Rabu (8/6).
Bhima mengatakan, meski pemerintah mengintervensi masalah minyak goreng ini lewat program MGCR dan subsidi, jika rantai distribusi tidak diperbaiki dan tetap diserahkan ke mekanisme pasar, maka kebijakan itu tidak efektif menekan harga. Intervensi yang dilakukan pemerintah justru membuat para pedagang enggan menjual minyak goreng curah di pasar tradisional karena takut ditangkap Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kepolisian RI (Polri) yang bertugas mengawasi jalur distribusi minyak goreng.
“Para pedagang eceran minyak goreng curah di pasar tradisional takut karena sering disidak Satgas, kemudian dianggap menjual di atas HET. Padahal mereka juga membeli dari agen harganya jauh di atas HET. Kalau pun mereka mengambil selisih harga, hanya Rp 1.000 per liter. Jadi banyak yang memilih untuk tidak berjualan,” ujar Bhima lagi.
Meragukan
Seperti Bhima, anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus juga meragukan efektivitas kebijakan Kemendag untuk menekan harga minyak goreng curah itu. Semisal, pedagang eceran akan sulit mengecek orang-orang tersebut tidak berulang-ulang membeli minyak goreng curah.
Soalnya, kata Deddy, minyak goreng sesuai HET memiliki selisih cukup tinggi dengan harga pasaran sehingga berpotensi terjadi kecurangan. Dengan demikian, persoalan minyak goreng ini akan terus berulang seperti sebelumnya.
“Orang kemudian membeli di luar kebutuhannya, lalu menjual kepada orang lain. Kan masih mungkin terjadi seperti itu,” ujar Deddy.
Dari persoalan itu agaknya ada yang terlupakan terutama tentang penguasaan pasar minyak goreng retail dalam negeri. Sebagai informasi, berbagai merek minyak goreng khususnya dalam kemasan yang beredar di pasar berada di bawah perusahaan-perusahaan yang di antaranya menjadi tersangka dalam kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Agung.
Data Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menunjukkan, untuk merek Sania, Fortune dan Sovia berada di bawah kelompok Wilmar Nabati Indonesia, dengan pangsa pasar 29,5%. Sementara, merek Bimoli, Bimoli Sp, Delima, Amanda di bawah kelompok Salim Ivomas Pratama, dengan pangsa pasar 18,1%. Lalu, merek Tropical, Hemart, Fitri dan Frais di bawah Bina Karya Prima (BKP), dengan pangsa pasar 13,5%.
Sedangkan, merek Filma, KunciMas dan Masku berada di bawah kelompok Sinar Mas, dengan pangsa pasar 9,8%. Kemudian, merek Sunco berada di bawah Mikie Oleo Nabati, dengan pangsa pasar 9,3%. Selanjutnya, merek Rosebrand dan Tawon di bawah Tunas Baru Lampung, dengan pangsa pasar 4,3%. Terakhir, merek Sedaap dan Sabrina di bawah Karya Indah Alam Semesta (Wings Food), dengan pangsa pasar 3,5%.
Sementara itu, diketahui BKP dan Mikie Oleo Nabati diketahui terafiliasi dengan grup Musim Mas. Masih merujuk situs GIMNI, bahwa orang yang bertanggung jawab atau bisa dihubungi untuk semua anak usaha termasuk Mikie Oleo Nabati di bawah Musim Mas adalah Togar Sitanggang, yang merupakan salah satu tersangka dalam kasus yang ditangani Kejagung. Sementara kelompok Salim, selain produk minyak goreng itu, juga memiliki saluran distribusi retail seperti Indomaret dan Super Indo.
Lantas, apa yang bisa dipelajari dari fakta itu? Bahwa hanya dengan 7 perusahaan, mampu menguasai pangsa pasar retail minyak goreng di Indonesia hingga 88%. Juga menguasai jalur distribusinya. Dengan kata lain, pangsa pasar retail minyak goreng dan distribusinya dikuasai hanya sekelompok orang.
Terbuka ke Publik
Itu sebabnya, kata Bhima, sejak awal terjadinya masalah minyak goreng sekitar 5 bulan lalu harus dibuka kepada publik. Setelah itu baru diatur ulang tata niaganya. Kemudian, pemerintah perlu melarang perusahaan minyak goreng untuk terlibat dalam rantai distribusi.
“Soalnya banyak perusahaan minyak goreng dari hulu hingga hilir menguasai seluruh sektor CPO di Indonesia. Karena yang terjadi sekarang adalah integrasi vertikal. Perusahaan punya lahan kelapa sawit, punya pabrik minyak goreng, distribusinya juga dipegang sama konglomerasi yang itu-itu saja. Kemudian dilakukan pemangkasan, sehingga ada pembatasan bisnis dan ini bisa lebih mudah pengawasannya. Itu yang mungkin bisa dilakukan,” kata Bhima.