Politikus dan Anggota DPR yang Ikut Seleksi BPK Dinilai Tidak Bermoral dan Potensi Konflik Kepentingan

0
55
Reporter: Kristian Ginting

Kalangan masyarakat sipil menyoroti sejumlah anggota DPR RI dan politikus yang mencalonkan serta mengikuti proses seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, keberadaan mereka di BPK kelak diduga untuk mengamankan audit keuangan kepala daerah seperti gubenur, bupati/wali kota yang menjadi kader partai politik.

“Menurut saya, pada tingkat tertentu mungkin ada kaitan dengan partai-partai yang mendorong mereka (politikus dan anggota DPR). Kenapa sejumlah partai politik mendorong atau menyokong mereka, kepentingannya untuk membuat segala macam keputusan yang tidak akan merugikan terhadap partai yang punya banyak kader di daerah,” kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (20/7).

Untuk saat ini, sejumlah politikus dan anggota DPR diketahui mencalonkan serta mengikuti proses seleksi anggota BPK. Mereka antara lain Eva Yuliana (Nasdem), Hendrik H. Sitompul (Demokrat), M. Misbakhun (Golkar), Mulfachri Harahap (PAN), Jon Erizal (PAN), Bobby Adhityo Rizaldi (Golkar), Akhmad Muqowam (Hanura) dan Daniel Lumban Tobing (eks PDI Perjuangan.

Baca Juga :   Komisi X DPR Setujui Pagu Indikatif dan Tambahan Anggaran Kemenparekraf 2024

Ray menuturkan, pihaknya mengamati politikus yang mengikuti seleksi anggota BPK tidak hanya dari satu partai saja. Bahkan diketahui anggota DPR yang saat ini masih aktif pun mengikuti seleksi tersebut.

“Jadi bukan hanya satu partai, tapi banyak parpol, karena mereka jadi punya keinginan untuk memastikan hasil-hasil audit keuangan tidak menghujam kader-kader mereka nanti di daerah. Ini fenomena yang menurut saya menggelisahkan,” tutur Ray.

Potensi politikus Senayan disbanding calon profesional/independen atau non-partai terpilih menjadi anggota BPK, kata Ray, lebih besar. Pasalnya, yang memilih anggota BPK adalah teman-teman politisi Senayan itu di Komisi XI DPR

“Mereka juga sudah tahu, kalau ada anggota partai dan non-partai, besar kemungkinan anggota partai yang akan terpilih. Jadi peluang mereka untuk terpilih (anggota BPK) itu jadi besar, setidaknya soal pemilihan, apakah antara anggota partai atau non-partai,” ungkap Ray.

Meski begitu, kata Ray, fenomena ini bisa terjadi karena berdasarkan undang-undang UU) tidak ada larangan bagi anggota DPR dan politikus mencalonkan dan mengikuti seleksi calon anggota BPK. Namun, pimpinan partai politik dan anggota DPR seharusnya mengedepankan moral karena tugasnya seharusnya mengawal suara rakyat selama 5 tahun.

Baca Juga :   Kementerian PUPR Diminta Bikin Program Subsidi Rumah untuk Wartawan

“Semuanya berdasarkan hukum formal, enggak berdasarkan moral. Kalau berdasarkan aturan hukum boleh-boleh saja. Jadi ya repot kita itu, padahal secara moral, bagaimana mereka sudah meminta suara rakyat, setelah terpilih, lalu mereka tinggalkan begitu saja, lalu mereka belum bekerja untuk rakyat, sudah mundur sebagai anggota DPR karena terpilih sebagai anggota BPK,” kata Ray.

Ray menambahkan, keberadaan politikus itu sudah pasti akan menimbulkan konflik kepentingan apabila kelak terpilih menjadi anggota BPK. “Tentu harus berhenti sebagai anggota DPR jika terpilih menjadi anggota BPK, dan potensinya akan menjadi konflik kepentingan. Bahkan bisa juga supaya mengamankan kader-kader mereka yang menjadi kepala daerah di daerah, itu tujuan salah satunya,” tandasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan keputusan rapat internal Komisi XI DPR pada 8 Juli 2024, menetapkan 75 calon anggota BPK yang akan mengikuti fit and proper test di DPR. Nama-nama tersebut telah diumumkan ke publik.

DPR pun meminta masyarakat untuk memberikan masukan terkait nama-nama tersebut. Masukan itu disampaikan ke DPR terhitung sejak 10 Juli 2024 hingga 19 Juli 2024.

Leave a reply

Iconomics