PT KCIC Diminta Jelaskan Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat
Wakil Ketua Komisi V DPR Andi Iwan Darmawan mendesak PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) untuk menjelaskan pembengkakan proyek kereta api cepat. Itu penting untuk mengetahui bahwa pembengkakan itu dari penambahan modal atau pinjaman yang nilainya sekitar 75%.
“Apakah ini penambahan biaya ini diambil dari ekuitas atau dari utang?” kata Andi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/2).
Dalam kesempatan itu, Andi juga menyinggung skema business to business (B2B) PT KCIC untuk menjalankan proyek yang melibatkan banyak stakeholder. Skema B2B itu juga melibatkan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang dinilai menjadi satu bagian dalam perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).
“Jadi kita tentu agak bingung juga bahasa B2B itu apakah benar-benar tidak melibatkan negara di dalamnya. Pastikan ini bukan dalam konteks swasta murni, ini BUMN kita. Jadi tentu dalam kondisi itu uang negara pasti akan masuk, anggaran pendapatan dan belanja negara akan masuk,” kata Andi.
Karena itu, kata Andi, PT KCIC dapat lebih memperhatikan skema bisnis yang dijalankan. Dengan demikian, negara tidak mengalami kerugian akibat dari adanya pembengkakan di dalam proyek pembangunan kereta api cepat.
“Jadi benar-benar harus menjaga agar supaya negara tidak mengalami kerugian, dan kemudian investasi ini betul-betul dirasakan manfaatnya dan ekonomis dari sisi pembiayaan,” kata Andi.
Menanggapi hal tersebut, Dirut PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, pihaknya mengakui memang terjadi pembengkakan karena beberapa faktor. Semisal, relokasi fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), ataupun kepentingan trase, equipment, yang termasuk di dalamnya terkait dengan relokasi tower saluran udara tegangan tinggi (SUTT) milik PT PLN (Persero), yang disebut memiliki porsi sebesar hampir 16%.
Sedangkan mengenai relokasi fasos dan fasum, menurut Dwiyana, cost overrun terjadi akibat adanya penambahan titik relokasi dari yang pada tahap awal perencanaan sebanyak 200 titik. Kemudian, bertambah 600 titik relokasi, seiring dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
“Karena memang kondisi di lapangan membutuhkan seperti itu, artinya ada relokasi jalan, irigasi, jembatan, kantor kelurahan, ataupun sekolah dan lain-lain. Ini ternyata memang angkanya jauh dari angka perencanaan,” ujar Dwiyana.
Selanjutnya, kata Dwiyana, cost overrun juga terjadi lantaran adanya eskalasi harga yang terdapat di dalam kontrak yang mengakomodir eskalasi harga untuk barang-barang onshore.
“Artinya barang-barang material, tenaga kerja di dalam negeri kontraktor bisa mengajukan eskalasi harga, dan itu memang tidak dihitung dari awal, makanya itu menjadi bagian dari cost overrun. Eskalasi harga di sini mungkin berkaitan dengan adanya inflasi, kemudian adanya kenaikan UMR dan lain-lain untuk biaya tenaga kerja,” kata Dwiyana.