Menkeu: Industri Keuangan Syariah Juga Terdampak Covid-19

0
480
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Pandemi Covid-19 disebut tidak hanya ancaman terhadap sektor kesehatan dan keselamatan jiwa manusia tapi juga sektor lain. Semisal, sektor sosial, ekonomi, keuangan termasuk industri keuangan syariah.

“Kalau kita lihat dampak Covid-19 kepada industri keuangan syariah kita juga melihat untuk industri keuangan syariah tidak luput dari dampak Covid-19,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah acara diskusi daring, Kamis (23/7).

Sri Mulyani mengatakan, dampak pandemi terhadap kinerja industri keuangan syariah sudah terlihat sejak bulan Maret, ketika virus Covid-19 diumumkan secara global dan kasus pertama di Indonesia. Pada saat itu terjadilah kepanikan global yang menyebabkan guncangan luar biasa di sektor keuangan seluruh dunia.

“Tidak terkecuali Jakarta Islamic Index yang mengalami koreksi tajam hingga 6,44%. Di akhir Maret, Jakarta Islamic Index bahkan mencatat berada di bawah 400 sebelum akhirnya berhasil naik kembali ke index 500 pada awal April,” kata Sri Mulyani.

Stabilitas pertumbuhan pasar modal Syariah, kata Sri Mulyani, sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan dan pemulihan institusi keuangan syariah, khususnya untuk industri takaful dan asuransi syariah.

Baca Juga :   UMKM Disebut Kunci Pemulihan Ekonomi Nasional

Pasalnya, industri takaful telah menempatkan investasi dan dana kelolaannya di pasar modal syariah dengan jumlah yang signifikan. Secara rinci, sekitar 82,3% atau Rp 39,8 triliun dari industri takaful diinvestasikan di berbagai instrumen seperti saham syariah, sukuk dan reksadana.

“Dengan demikian terjadinya koreksi yang tajam pasti akan mempengaruhi pengelolaan dana dari industri takaful tersebut,” kata Sri Mulyani.

Perbankan syariah Indonesia pun tidak luput dari dampak pandemi. Itu sebabnya, perbankan syariah harus mulai merevisi target pertumbuhan seperti halnya di sektor perbankan umum. Selain itu, dengan adanya peningkatan risiko di lembaga-lembaga keuangan syariah akibat pandemi dan merosotnya kegiatan ekonomi di seluruh dunia, maka peningkatan risiko ini akan mempengaruhi lembaga keuangan syariah untuk memberikan pembiayaan dan untuk mendorong pemulihan ekonomi.

Padahal, di 2019 industri perbankan syariah berhasil mencatat pertumbuhan double digit dengan market share di atas 5%. Di mana menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mayoritas pembiayaan dari bank syariah disalurkan pada sektor yang bukan lapangan usaha, seperti pemilik rumah tinggal sebesar Rp 83,3 triliun, pemilik rumah tangga lainnya termasuk multiguna sebesar Rp 55,8 triliun.

Baca Juga :   Selama Covid-19, Pendapatan KAI dari Angkut Penumpang Anjlok 93%

Penyaluran perbankan syariah untuk sektor lapangan usaha juga cukup besar. Seperti perdagangan besar dan eceran yang mencapai Rp 37,3 triliun, konstruksi sebesar Rp 32,5 triliun dan industri pengolahan sebesar Rp 27,8 triliun.

Risiko-risiko yang dihadapi oleh institusi perbankan secara umum maupun perbankan syariah, kata Sri Mulyani, tentu harus diwaspadai risiko kepada peningkatan kesulitan likuiditas, penurunan kualitas aset keuangan, penurunan profitabilitas dan resiko pertumbuhan perbankan syariah yang mengalami perlambatan atau bahkan negatif.

“Kenaikan risiko terhadap perbankan syariah dalam bentuk non-performing loans atau non-performing financing akan menjadi salah satu penentu untuk bisa bertahan dan bangkit kembali,” katanya.

 

 

Leave a reply

Iconomics