Analisis soal Nominee dan JS Plan Jiwasraya Gunakan Skema Ponzi

0
1296

Perkara dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terus berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta pada Senin (27/7) kemarin. Khusus untuk persidangan dengan terdakwa Benny Tjokrosaputro, pemilik PT Hanson International Tbk, jaksa mendatangkan Lisa Anastasia.

Lisa merupakan saksi sekaligus staf saham Benny Tjokro. Lisa bekerja sebagai staf di PT Bumi Nusa Jaya Abadi. Benny Tjokro, kata Lisa, menggunakan beberapa nominee (pinjam nama) dalam bertransaksi saham. Umumnya nama-nama tersebut keluarganya Benny Tjokro mulai dari istri hingga sepupu.

Soal pinjam nama dalam bertransaksi saham, menurut praktisi hukum Universitas Jayabaya Jakarta Ricky Vinando bukan sesuatu yang salah. “Tidak ada yang salah, yang salah hanya jika kepemilikan saham secara nominee. Bukan jual saham secara nominee,” kata Ricky saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Ricky karena itu menilai, sejak kasus ini mencuat sesungguhnya bukan bagian dari pidana korupsi. Lebih kepada penggelapan penipuan. Jika dilanjutkan bisa ke tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penggelapan, kata Ricky, karena menggunakan skema ponzi di mana investor atau nasabah dijanjikan untung besar tanpa risiko.

Baca Juga :   KAI Catat Kenaikan Volume Pelanggan Sebesar 53% di Semester I-2023

Itu sebabnya, perusahaan yang terlibat dalam skema ponzi memusatkan seluruh energinya untuk menarik nasabah baru untuk melakukan investasi. Dalam kasus Jiwasraya ini, kata Ricky, nasabah dijanjikan bunga atau imbal hasil setinggi “langit” 9% hingga 13%. “Itulah yang bikin orang beli (produk asuransi) JS Plan,” kata Ricky.

Imbal hasil tinggi ini, kata Ricky, tentu saja menjadi harapan dari nasabah. Dan sekarang sudah dihentikan penjualannya. Itu pula, kata Ricky, menjadi bukti kuat sejak awal keuangan Jiwasraya sudah buruk tapi berani membuat produk yang berisiko tinggi bernama JS Plan.

“Bunga asuransi tradisional saja 14%. Mana bisa hidup Jiwasraya jika tak pakai ponzi. Akhirnya uang yang masuk makin sedikit itulah penyebab gagal bayar,” kata Ricky.

Sepanjang periode 2013 hingga 2017, JS Plan merupakan produk unggulan Jiwasraya karena mencatatkan pertumbuhan premi fantastis. Pada 2015, misalnya, perolehan premi JS Plan mencapai Rp 5,15 triliun atau 50,3% dari total premi Jiwasraya saat itu. Jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya menjadi Rp 12,57 triliun atau 69,5% dari total premi.

Baca Juga :   Tingkatkan Kinerja, KAI Daop Cirebon Resmikan Kereta Dresin Inspeksi Terbaru

Kemudian, pada 2017, perolehan premi JS Plan meningkat lagi menjadi Rp16,54 triliun. Jumlah ini mencapai 75,3% dari total premi Jiwasraya senilai Rp 21,91 triliun. Namun, setahun berselang, perolehan premi JS Plan anjlok menjadi Rp 5,46 triliun. Anjloknya penerimaan premi ini lantaran bunga imbal hasil produk tersebut diturunkan.

Selanjutnya, dana kelolaan Jiwasraya yang diinvestasikan lewat instrumen keuangan seperti saham dan reksa dana pun mengalami penurunan. Kerugian ini kemudian memicu gagal bayar Jiwasraya kepada dana nasabah yang telah jatuh tempo.

Khusus dalam perkara hukumnya, selain Benny Tjokro, ada 5 orang lainnya yang menjadi pesakitan dalam kasus ini. Mereka adalah Hendrisman Rahim (mantan Dirut Jiwasraya), Harry Prasetyo (mantan Direktur Keuangan Jiwasraya), Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya), Heru Hidayat (Preskom PT Trada Alam Minera) dan Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra).

 

Leave a reply

Iconomics